╔══•●•══╗
YORE
╚══•●•══╝.
.
.
Begitu cepat waktu berlalu, hingga tiada terasa setahun sudah sejak Sasuke dan Karin melangsungkan pernikahan mereka. Kawaki kecilku bisa berjalan sekarang dan banyak kosa kata beragam terungkai dari celotehnya. Bisa dikatakan kalau hidupku bertambah baik setiap pergantian musim.Keluarga yang tenteram, bisnis berkembang serta hubungan baik tetap terjaga dengan orang-orang terdekatku. Apalagi terhadap Ibu Kurenai, beliau memintaku langsung untuk ikut serta di dalam kepengurusan yayasan. Dan atas dorongan Naruto, tiga bulan belakangan aku resmi menyetujui amanat itu.
Aku jadi lebih bisa meluapkan kesenanganku secara blak-blakan, inipun berkat keberadaan suamiku. Dia mengajarkan satu hal padaku, bahwa membenci masa lalu justru akan menyulitkan kebahagiaan di masa yang akan datang.
"Katakan saja jika masih ada yang perlu dipersiapkan."
Naruto menghampiriku, mengecup singkat pelipisku dan duduk di sebelah sambil memangku Kawaki. Si kecil ini jadi bertambah manja terhadap ayahnya. Aku pun merasa dia lebih senang menghabiskan masa terjaganya untuk tetap menempel dengan Naruto.
"Sudah selesai semuanya. Tapi, aku sengaja bawa pakaian agak banyak. Karena kau bilang kita akan berlibur bersama ibu dan ayah, sekalian saja kusediakan segala yang bakal dibutuhkan."
"Jangan lupakan barang-barangmu juga. Susu, vitamin, itu penting."
"Ah, untung kau ingatkan. Stoknya hampir habis."
"Ya sudah, nanti sore biar aku dan Kawaki yang membelinya ke minimarket."
Hubungan kami tak lagi canggung. Aku maupun Naruto mulai terbiasa menunjukkan perasaan kami terhadap satu sama lain. Aku sempat kaget saat menyaksikan perbedaannya dalam beberapa bulan belakangan, tepatnya ketika hasil pemeriksaan laboratorium menyatakan kehamilanku yang ke dua.
Usia kandunganku memang masih muda, tidak lebih dari tujuh minggu. Tapi, Naruto begitu antusias memperhatikan perkembangan dan kesehatan kami berdua. Aku jadi mengingat saat pertama kali dia menawarkan lamaran perkawinan kepadaku. Itu bertepatan kami menanti perkembangan embrio yang akan ditanamkan ke rahim. Ada kesedihan di matanya, tentang kecemasan mengenai apakah pembuahan inkubator berdampak buruk atau tidak terhadap calon bayi.
Mestinya Kawaki yang malang tidak perlu melewati proses menegangkan itu. Ya, atas dasar alasan itu aku sungguh tersentak kenyataan. Jika aku memang menghargai bayiku, selayaknya kuberikan semua yang terbaik.
Aku menyesal, tentu. Namun, kehadiran Naruto membuatku kembali bangkit dan meyakinkan diri jika aku pantas menemukan seseorang yang bisa menjagaku sepenuhnya, menjagaku dari kekeliruan yang barangkali terulang. Pernikahan kami merupakan solusinya. Aku tidak ingin dihantui kekecewaan seorang diri oleh tindakan buru-buru, jangan sampai terjadi lagi.
Kini, apa yang lebih baik dari keutuhan keluarga? Masa lalu memang membuatku kalah, kedua orang itu benar-benar pergi dari kehidupanku. Dan aku telah berjanji akan turut melepaskan mereka. Keluarga kecilku mampu menutupi bagian yang hilang, bahkan menyerahkan terlalu banyak. Rasa syukur tidak henti-hentinya kuucapkan dengan bertambahnya sambutan hangat dari keluarga Naruto. Ayah dan ibu mertuaku itu masih dititipkan kesempatan untuk berbenah diri. Saling memaafkan dan menerima ikatan yang ada. Ini persis impian Naruto menginginkan keluarganya tidak tercerai.
Apa sebutan yang cocok bagi akhir dari alur yang kubuat? Sebagian orang mengatakan ini menyedihkan. Sebab, nyatanya aku gagal meraih perhatian ayah ibuku lagi. Walau sesungguhnya hatiku lebih kuat merelakan, sekuat aku melepaskan kepedihan.
Akhir seperti ini adalah hasil terbaik yang kuharapkan. Aku bangga, bersyukur serta atas limpahan kebahagiaan yang kuterima. Aku bersyukur memiliki mereka dalam hidupku. Aku menyayangi mereka, suami, anak-anakku juga kerabat dan teman-teman yang selalu peduli.
T. A. M. A. T
KAMU SEDANG MEMBACA
YORE (Commission) ✓
Short StoryHinata mengharapkan seorang bayi, bayi yang murni lahir dari rahimnya. Tetapi, dia tidak suka pernikahan. Ikatan itu selalu berhasil menghantuinya, membayang-bayangi ketakutannya dengan wajah culas dua manusia bekas orang tuanya. Bukan mau akalnya m...