PK 11 : EPILOG

763 35 15
                                    



[Burhan, POV]

Aku tidak akan pernah melupakan kejadian di hari itu. Walaupun sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, bahkan saat itu aku masih berusia 7 tahun lebih sedikit.

Dua tahun setelah Bapak dan Ibuku meninggal akibat kecelakaan mobil angkot. Sejak saat iku aku hidup diasuh oleh Paman dan Bibi adik dari Bapakku, bersama dengan keenam anak mereka. Kehidupan Paman dan Bibi yang sangat sederhana masih harus terbeban dengan kehadiranku yang sudah sebatang kara. Saat usiaku sudah tujuh tahun lebih ini, aku belum mengenal sama sekali apa itu namanya sekolah. Tidak bisa membaca, apalagi menulis.

Maka disinilah aku, setiap pagi berdiri di tenggah pasar. Menunggu orang yang mau menyewa jasaku untuk membawakan barang belanjaan mereka. Meski aku masih kecil, ukuran tubuhku termasuk bongsor atau kelihatan lebih besar dari usiaku sesungguhnya.

Namun bekerja sebagai kuli untuk menggangkut barang, walaupun cuman barang belanjaan ringan, aku harus bersaing dengan para bapak-bapak kuli panggul atau ibu-ibu kuli barang yang nasip mereka tidak jauh dari diriku. Semua karena himpitan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan. Orang-orang yang biasa memakai jasaku hanya kerena merasa kasihan atau mereka yang sudah kenal dengan orang tuaku atau latar belakang keluargaku. Bapak ibuku juga sekorang pedagang di pasar sini dulunya.

Dan hari ini sudah jam 11 siang, aku tidak mendapatkan pelanggan sama sekali. Hari mulai terik dan aktifitas di pasar tidak seramai pagi tadi. Kalo hari ini aku sampai tidak membawa uang untuk pulang nanti, rasanya aku begitu malu untuk meminta jatah makan siang dan makan malam nanti.

Paman dan bibiku orangnya sangat baik, mereka bahkan tidak memerdulikan aku membawa uang atau tidak sepulang dari pasar. Mereka hanya meminta aku menjadi anak baik, tidak bayak ulah, mau membantu pekerjaan rumah tangga dan mau menjaga anak-anak mereka yang masih balita. Semua itu sudah aku kerjakan, cuman dengan bekerja dan membawa uang dari pasar ini minimal sebagai ucapan terima kasihku dan membantu ekonomi mereka.

Kini aku hanya bisa berjongkok sambil menggambar di tanah dengan kayu lidi. Sesekali aku melihat kearah bibiku yang sedang menjajakan ikatan daun pisang. Dia berjualan disebelah pedagang sayur mayur. Tampaknya ikatan daun yang diambil tadi pagi masih banyak menumpuk. Hal itu membuat hatiku semakin sedih.

Kugores-gores tanah dengan lidi mencorat-coret tanah dengan gambar yang tidak jelas. Tiba-tiba dihadapanku aku melihat sepasang sepatu kecil berwarna biru muda. Seorang anak kecil berkuluit putih terang, berwajah bulat lucu dengan mata yang berbinar jenaka berjongkok juga dihapanku. Dia merebut lidi dari tanganku dan mulai mencorat coret juga di tanah.

Aku tidak mengenal siapa bocah balita ini. Usianya mungkin hampir dua tahun. Dari baju yang dia pakai sepertinya dia anak orang kaya, dan ku tidak pernah melihatnya. Dia tersenyum lucu kearahku, memperlihatan deretan giginya yang belum lengkap. Kubiarkan saja dia mencorat-coret diatas gambaran tanahku.

Seorang wanita setengah baya datang mendekat.

"Eeihhh .... cucu Nenek sedang main apa ini ?"

Balita ini mendonggakkan kepala dan tersenyum senang kemudian melanjutkan mencorat-coret tanah. Aku perhatikan wanita setengah baya yang cantik itu. Dia memakai kebaya dengan kain yang sangat bagus, baunya juga sangat wangi.

Aku berdiri sambil mengibaskan tangan kotorku ke calana pendekku.

"Mau saya bawakan tas belanjaannya, Nyonya ?"

Aku berdoa dia tidak menolak tawaran jasaku, karena aku begitu membutuhkan. Wanita itu hanya tersenyum manis.

"Terima kasih ..... ini tidak berat koq."

"Ndak papa, Nyonya .... saya bawakan." Aku sedikit memaksa.

"Ndak usah .... Kenapa anak sekecil kamu bermain disini ? kamu tidak sekolah ? .... Mana bapak ibu kamu ?"

Wanita itu mencoba mengedarkan pandangannya.

"Saya tidak sekolah, Nyonya ..... saya bekerja disini sebagai kuli angkat barang atau bawaan belanja ...... Bapak dan Ibu saya sudah meninggal dunia."

"Oh, Kasihanya ...... " Wanita mengelus kepalaku ." Kamu tinggal dimana sekarang ?"

"Saya tinggal dengan Paman dan Bibi saya ..... Itu Bibi saya yang berjualan daun pisang," aku menunjuk ke tempat Bibiku berjualan.

"Kalo begitu tolong kamu jaga cucu saya ya ..... Nenek akan pergi kesana sebentar."

Wanita itu berjalan ke tempat Bibiku berjualan. Aku kembali berjongkok menemani bocah lelaki yang sedang asik menggambar di tanah. Bocah ini ganteng dan lucu sekali, dia selalu tersenyum dan melihatnya membuat perasaan menjadi senang.

Aku membersihkan sedikit tanah yang menempel di tangan dan lutut bocah ini, aku tidak ingin Nenek tadi mengira aku tidak becus menjaga cucu beliau. Saat aku berdiri, bocah ini juga ikut berdiri. Kedua tanganya terulur ke atas, rupanya dia minta aku gendong.

Aku angkat tubuhnya yang gembul dan kugendong dari arah depan. Dia tertawa-tawa senang, apalgi saat aku mengoyang tubuhnya ke kiri dan ke kanan dia tertawa kegirangan. Aku juga merasa senang.

Satu moment yang tidak pernah aku lupakan juga adalah saat bocah itu memegang pipiku dengan kedua tangannya, kemudian memajukan wajahnya menyentuh bibirku dengan bibirnya yang munggil.

Walau hanya sekilas, namun dunia disekitarku seakan tiba-tiba memudar, yang aku rasakan hanya keberadaan diriku dan keberadaan dirinya, bahkan bisingnya suasana pasar di sekitarku tiba-tiba senyap.

Kurasakan seolah beban hidupku menjadi anak yang sebatang kara hilang sudah. Yang ada hanya kebahagiaan saat bedua dengan bocah ganteng ini.

Namun suasana sekejap juga kembali seperti sedia kala saat bocah itu kembali tertawa terbahak-bahak.

Beberapa saat kemudian, sepasang suami istri datang mendekat.

"Anak Mama lagi ngapain disini ?" wanita cantik itu membungkuk menyapa bocah kecil ini, membuatnya mendonggak sambil tersenyum.

"Mama ....." sapa bocah itu riang, tapi dia malah mengeratkan tangannya melingkar memeluk leherku. Kulihat wanita paro baya itu bersama Bibiku berjalan mendekat kerahku.

"Bu, ini siapa ?" kata pria gagah yang menemani wanita cantik tadi.

"Ini Burhan, mulai hari ini dia akan ikut kita pulang ke rumah."

Aku mencoba memahami apa yang barusan wanita paro baya itu katakan. Kulihat mata bibiku mulai berkaca-kaca dan aku tidak menemukan jawaban disana. Cuman kemudian bibiku berkata :

"Burhan, jadi anak yang baik ya ..... Yang nurut sama Kanjeng Putri ... jaga dirimu baik-baik selama kamu ikut dengan mereka disana."

"Iya, Bu Lik .... " aku menjawab sekenanya dan masih mencoba untuk memahami.

"Rizky .... anak Papa .... ayo ikut Papa yuk .... "

Pria gagah itu mencoba untuk membujuk dan mengambil bocah laki-laki ini dari gendonganku. Tetapi bocah laki-laki ini malah mengeratkan lilitan tangannya di leherku.

"Sudah, biarkan ..... rupanya Si Rizky sudah jatuh cinta duluan kepada Burhan ..." kata Kanjeng Nenek sambil mengusap atas kepalaku lagi. "Burhan, sekarang kamu ikut kita pulang kerumah Nenek .... mau ya ?"

"Inggih Kanjeng Nenek ....." jawabku.

Karena aku yang mengendong bocah yang bernama Rizky ini, akhirnya pria yang sepertinya Papanya Rizky yang membawa semua barang belanjaan dengan kedua tangannya.

Aku berjalan di samping Kanjeng Nenek menuju gerbang keluar pasar. Dalam perjalanan aku mendengar Kanjeng Nenek berkata :

"Burhan, tolong jaga Rizky baik-baik ya ....."

"Inggih, Kanjeng Nenek ....."

Dan itu juga merupakan janjiku.

TAMAT.

Author Note :

Really .... I just wanna shere MY LOVE to you all Gays. Thank you for reading.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PONDOK KELAPA Re-PublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang