7 - Delapan Bidak

36 11 3
                                    

Charming merasa ada yang tak beres. Teriakan janggal dari hutan yang ia dengar siang lalu membuat hari-harinya gundah. Charming tidak bodoh, ia tahu persis pekik nyaring itu bukanlah pekak burung gagak. Selepas upayanya mengutarakan kejanggalan ini pada sang Ayah, hanya kesia-siaan yang ia dapatkan. Raja bersikeras bahwa Charming cuma dirundung halusinasi terhadap gadis pinangannya, dan Charming membenci itu.

Pada malam hari, ia diam-diam menyelinap keluar istana dengan jubah beledu hijau tua, pedang dan busur panah tersampir di pinggang dan punggungnya. Raja berperut buncit itu sudah terlelap selepas makan malam yang mengenyangkan. Charming melompat ke luar jendela kamar dan bertengger sesaat di atas atap serambi belakang istana. Ia berdecak-decak ringan, kemudian datangah seekor kuda putih dengan pelana yang siap ditunggangi. Charming telah mempersiapkan ini sebelum petang berakhir. Dua penjaga pintu belakang tampak curiga, dan tepat ketika genting di atap serambi berderak, kedua penjaga menoleh ke atas hanya untuk mendapat tendangan dari kedua kaki Charming. Dua penjaga tersungkur. Sebelum mereka sempat bangkit, Charming memukul kedua tengkuk mereka dengan lengan bawah, lantas dua penjaga malang itu akhirnya semaput.

Charming memasang kembali tudung yang sempat terbuka. Lalu berderap menuju taman labirin yang ia dan Charles tahu bahwa tersedia jalan tembus menuju hutan. Begitu bukaan hutan terpampang, gelap mulai menantang, maka Charming meraih obor dari kantong kulit yang menggantung di sisi kanan pelana kuda putihnya, kemudian menyalakan korek api dan menyulut minyak pada pucuk obor. Ia lakukan gerakan tersebut kala tubuhnya masih dalam keadaan menunggangi kuda yang berlari.

Pelita benderang. Charming kembali menggenggam tali kekang di tangan kanan, dan obor di tangan kiri. "Hiss!" serunya, dan kuda putih pun berderap kian cepat.

Sesuatu dalam hatinya bersuara bahwa Cinderella belum tiada.

***

Anastasia mengaduk ramuan makan malam di tungku. Bukan menu kesukaannya, tetapi merupakan menu kesukaan Drizella dan ibunya. Sup jeroan rusa dengan dua tetes cairan mata peri hutan dan kaki anak troll sebagai hidangan utamanya.

Tak mungkin Anastasia pungkiri bahwa ketika tiga bahan itu disatukan, pasti menghasilkan aroma sedap setara sup kaldu sapi.

Ketika letupan kuah yang mendidih sudah sebesar apel, Anastasia menyapu udara di sekitar api, kemudian gelombang merah itu terserap ke dalam telapak tangannya. Ia menuangkan sup di tiga mangkuk, dan menyajikannya di atas nampan.

"Makan malam siap," ungkapnya, kemudian meletakkan seluruhnya di atas meja.

Hari ini hutan terdengar lebih sunyi. Angin tak banyak berembus, hewan-hewan pun tampak jarang berkeliaran. Tampak lebih tenang.

"Aah ...." Nyonya Tremaine menghela napas selagi bersender pada kursi makannya. "Akhirnya aku bisa kembali ke wujud ternyamanku." Wanita itu meregangkan kaki-kaki telanjangnya ke bawah meja, tetapi dari sisi manapun, kuku tajam dan kaki hijau beruratnya tetap tampak. Wajah penyihir itu tetap cantik, hanya saja bibir merahnya merupakan polesan darah yang tak kunjung habis, sementara urat-urat tubuh yang seharusnya bersemayam di bawah kulit, justru menempel di luar kulit. Tampak aliran mengerikan itu berdenyut-denyut hidup, memamerkan warna hijau kehitaman. Ia menyeruput kuah sup, tampak gigi geliginya yang tumpul dan rusak, menyisakan dua pasang taring di atas dan bawah. Jantung manusia adalah rahasia dari kemudaannya yang tak pernah pudar kala ia mewujud sebagai manusia sendiri.

Sementara Drizella dan Anastasia masihlah penyihir muda, 167 dan 165 tahun. Kemampuan sihir mereka belum mampu mengantar raga mereka pada wujud sejati penyihir seperti ibu mereka yang telah mencapai usia lima ratus tahun.

Meski wujud manusia dua gadis itu tetap sempurna—Drizella sebagai gadis 20 tahun berambut hitam dan berbibir tebal, Anastasia sebagai gadis 18 tahun berambut merah dengan sorot mata sayu—wujud penyihir mereka masih tak berwujud. Hanya berupa asap tanpa kaki yang melayang-layang di udara, dengan kedua tangan yang dapat mereka ubah sesuka hati. Oleh sebab malam ini tak ada keperluan apa pun, maka tidak perlu bagi mereka mengganti kedua tangan hitam mereka dengan sambit, atau kapak, atau sekadar jarum untuk menjahit.

Wonderland: Tales of The Eight PawnsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang