Bagian 17

41 4 0
                                    


Setiap orang dari berbagai latar belakang merasakan dampak pandemi yang memukul perekonomian negara ini. Selagi ada pemasukan yang bisa mereka kejar dan perjuangkan, mereka akan berusaha mendapatkannya. Agar pemasukan mereka dapat mengimbangi pengeluaran mereka. Pun juga agar dapur mereka dapat mengepul, mengisi perut-perut di rumah mereka.

Seorang perempuan paruh baya yang tengah berjalan menuju warung Ayam Renyah milik Ervi dan Nadira juga melakukan hal serupa. Ia mengejar sumber pemasukan lain untuk keperluan hidupnya. Menyeimbangkan kebutuhan sehari-harinya yang tidak selaras lagi dengan pemasukan harian.

Pagi itu Nadira tengah membersihkan dinding kaca warungnya, sementara Ervi sang Kakak sibuk mengelap meja. Memastikan setiap sudut warung kecil mereka tersebut bersih untuk menyambut pengunjung yang akan datang.

"Semoga hari ini ramai ya, Kak, agar uang kita bisa terkumpul lebih banyak buat bayar utang sama Bu Tini," seru Nadira dengan penuh harap.

Ervi mendengarkan ucapan Nadira dengan wajah bersalah. Hutang lima juta sama Bu Tini sepertinya tidak akan bisa dibayar sesuai dengan kesepakatan awal mereka. Jika saja dia tidak memberikan uang simpanan mereka kepada Erwin beberapa waktu lalu, mungkin ia bisa membayar hutang itu setengahnya sekarang. Tapi sekarang Ervi hanya bisa menyesali hal tersebut.

Mata Ervi menoleh ke dinding kaca yang dibersihkan Nadira. Melihat selongsong cahaya matahari pagi yang masuk disana. Hingga ia melihat seorang perempuan paruh baya yang berjalan mendekati warung mereka. Mata Ervi seketika saja membulat. Dadanya terasa bergetar hebat karena degup jantungnya yang kencang. Hembusan nafas panjang keluar dari mulut gadis itu. Sementara Nadira tidak menyadarinya. Ia masih asyik menikmati pekerjaannya mengelap dinding kaca warung mereka.

"Kita harus segera mengumpulkan banyak uang untuk melunasi hutang-hutang kita, Kak," lanjut Nadira.

Pintu kaca warung mereka berdenyit pelan, membuat Nadira menoleh. Seketika ia meneguk ludah karena kaget melihat sosok perempuan paruh baya yang datang tersebut. Ervi berdiri, ia melangkah pelan menghampiri tamu yang tak diundang itu.

"Pagi, Bu!" sapa Ervi dengan suara tenang.

Perempuan paruh baya itu tersenyum—dia Bu Risma—pemilik tempat yang disewa oleh Ervi dan Nadira.

"Kalian rajin sekali, pagi-pagi sudah buka." Bu Risma berjalan mendekati Ervi yang mendekatinya.

"Biasa, Bu, semoga aja ada pengunjung pagi-pagi kayak gini," jawab Ervi.

Nadira menghentikan sejenak pekerjaannya. Ia menaruh kain lap untuk membersihkan kaca ke dalam ember kecil yang berisi air, kemudian menghampiri Bu Risma dan Ervi.

"Rezeki itu memang harus dikejar, Vi. Ibu senang melihat kamu dan Nadira semangat seperti ini untuk jualan."

"Hehe, iya, Bu. Walaupun pandemi kayak gini, dan pengunjung yang datang nggak seberapa, kita harus tetap semangat untuk berjuang, Bu," sahut Ervi dengan wajah riangnya. Menyembunyikan ketakutan akan apa yang akan disampaikan oleh Bu Risma selanjutnya.

"Nah, gitu baru anak muda, semangat 45 urusan pekerjaan," ucap Bu Risma seraya mengusap bahu Ervi. Membuat gadis itu tersenyum kikuk. "Ini, Vi. Ibu mau nanyain soal biaya sewa tempat ini. Ya ... ini sudah lewat dari pertengahan tahun, setidaknya setengah dululah."

Ervi menelan ludah, pun Nadira yang sekarang juga sudah berdiri di dekat mereka. Rasanya semua usaha mereka sia-sia. Warung itu hanya menunggu waktu akan kehancurannya—ditutup untuk selama-lamanya.

"I-itu, Bu, saya dan Nadira ...." Suara Ervi menghilang, rasanya tak sanggup lagi untuk beralasan seperti bulan sebelumnya.

"Gini lho, Vi, Ibu sama Bapak juga lagi perlu uang, apalagi kamu tahu sendiri kalau Bapak dirumahkan sejak pandemi ini, dan itu tidak digaji sama sekali," lanjut Bu Risma memperjelas.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang