Setidaknya seminggu sekali, keluarga kecil Razaputra akan bersantai bersama di ruang keluarga. Bisa menonton tv, ataupun sekadar berbincang kecil. Hal itu sudah seperti tradisi turun-temurun keluarga pengusaha besar ini. Tujuannya agar kerukunan dan kasih sayang antar anggota keluarga tak memudar meski di tengah kesibukan masing-masing. Namun, sayangnya tujuan itu mulai memudar sekarang.
Di ruangan besar ini, hanya suara tv yang terdengar. Padahal ada lima orang, tapi tak ada yang ingin membuka percakapan duluan. Ivanna merasa tak nyaman, tapi takut dikira tak sopan juga bila ia duluan membuka suara, padahal mama-papanya sedang sibuk menonton.
Letak sofa di ruangan ini berbentuk setengah lingkaran, dengan bagian depannya terletak tv. Ivanna duduk di sebelah mamanya, di sofa tengah, sedang papanya berada di sebelah mamanya. Sementara Izora dan Rayden di samping sebelah kiri, di sisi papanya–terpisah satu kursi kosong yang memang disengaja Izora. Sementara Rayden takut menempati kursi itu, takut berada di dekat kepala keluarga Razaputra.
Vita yang mungkin peka dengan suasana hati putrinya–Ivanna–setelah melihat gadis itu memainkan jemarinya tak nyaman, lantas menyenggol lengan suaminya. Tak lupa ia memberi kode mata juga.
Reno yang awalnya menyerngit bingung, lantas berdehem singkat. Dialihkan pandangannya ke arah putra-putrinya satu-persatu.
"Rayden." Panggilan itu membuat sang empu nama tertekan, dengan senyum kaku ia mendongak ke arah Reno.
"Y-ya, Pah?" Jantungnya berdetak kencang seolah bisa melompat keluar. Apalagi menghadapi sorot tajam papanya, kedua lutut Rayden terasa lemas. Untungnya ia duduk, jika berdiri mungkin sudah jatuh sejak tadi karena kakinya yang mendadak menjadi jelly.
"Bagaimana sekolahmu?" Di balik kacamata obat yang dikenakannya, Reno terus menatap pemuda itu dengan sorot serius nan tegas. Membuat yang ditatap gugup bukan main.
Berdehem sebentar, Rayden berusaha mengendalikan diri. "Sekolah saya baik-baik saja, Pah. Tidak ada masalah. Tugas saya di OSIS juga berjalan dengan baik, bahkan mendapat pujian dari kepala sekolah. Lalu ...," Ia menggantung ucapannya, bingung harus berkata apalagi. Jika diberi kesempatan untuk bicara, Rayden harus berbicara sebaik mungkin. Karena kesempatan seperti ini hanya datang sesekali.
"Lalu?" desak Reno membuat ritme detak jantung Rayden makin tak karuan.
"Lalu ... ah, saya diutus mengikuti lomba Astronomi bulan depan. Sekarang masih tahap persiapan," jawabnya bersemangat. Seakan sadar dengan tingkahnya, Rayden kembali menunduk. "Itu saja, Pah."
Reno manggut-manggut mengerti. "Baguslah," jawabnya santai tanpa apresiasi berlebih.
Hanya mendapat seuntai kata itu saja, Rayden langsung mendongak dan tersenyum lebar. Rasa senangnya berkali-kali lipat meningkat dibanding saat dipuji kepala sekolah dengan kata-kata manis sedemikian rupa.
Izora menatap Rayden dengan pandangan jenuh, ia menganggap kakaknya itu alay. Padahal Reno tak juga memujinya, dasar haus pujian. Batinnya sembari menggelengkan kepala samar.
Tak sengaja mengalihkan pandangannya pada Ivanna, Rayden tersenyum tipis. Beda dengan Izora yang tak bereaksi, adiknya yang satu itu malah menunjukkan dua jempol, lengkap dengan raut berseri kepadanya.
"Nah, kalau Izora gimana?" Kali ini Vita yang bertanya karena menurutnya, sang suami terlalu lama bertindak.
"Aku baik."
"Ada masalah?"
"Enggak?"
"Teman-teman kamu gimana?"
"Baik aja."
Bibir Vita berkedut menahan kekesalannya, memang paling sulit mengajak bicara putri bungsunya itu. Sangat cuek dan menyebalkan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamatkan Mereka[On Going]
Novela Juvenil[PLAGIATOR DILARANG MENDEKAT] [REVISI SETELAH TAMAT] Mati di tangan keluarga sendiri. Bagaimana rasanya? Sakit, kecewa. Meski hubungan mereka tak persis seperti keluarga yang sebenarnya, Mia tak pernah menyangka kalau bibinya bisa bertindak senekat...