Bab 21. Klimaks Tiara

8 3 0
                                    

Tanpa kata, Rayden mendekati kedua adiknya yang sudah terduduk lemas itu. Ia membantu keduanya berdiri, lalu tersenyum getir, membuat perasaan dua saudara kembar itu semakin teriris.

"Ivanna ...." Gadis itu tersentak ketika belaian lembut Rayden menelusuri pucuk kepalanya. "Kakak tadi dengernya sejak kamu mohon-mohon sama Izora untuk enggak kasih tau papa-mama. Jadi, boleh kamu jelaskan lagi soal ini?"

Tubuh Ivanna lagi-lagi menegang, seolah disambar petir di siang bolong. Di ponsel Rayden, tertera potret kejadian Angel yang sedang menyiramnya. Tak hanya satu, ada banyak potret-potret yang mengabadikan peristiwa itu. Siapa pelakunya? Dan, bagaimana ini sampai ke tangan Rayden?

"K-kak ...." lirihnya dengan air mata yang kembali menetes.

Dengan lembut tangan Rayden menghapusnya, ia lalu tersenyum memohon. "Tolong," ucapnya pelan dan sehalus mungkin.

Dengan berat hati, Ivanna mulai bercerita meski terbata-bata. Ia tak punya kesempatan untuk lari lagi. Ia harus buka mulut sekarang. Ia sudah terjebak.

"Maafin aku, Kak, karena udah sok pahlawan kayak gitu. Tapi-tapi, aku ngelakuinnya bener-bener untuk ngebela Tiara. Aku enggak mau ketidakadilan terus menimpa dia," paparnya setelah menceritakan segala hal.

"Shhh ...." Rayden mendesis dengan jari telunjuk yang diletakkan di depan bibir ranum adiknya. "Kakak ngerti kok. Niat kamu baik, pasti waktu itu susah banget untuk melarikan diri, 'kan?" Sikap pengertian Rayden berkali-kali lebih menyakiti hatinya dibanding kata-kata kasar Izora.

Ivanna tak berani bersuara lagi. Ia memilih menunduk, menatap rerumputan yang lebih tinggi karena belum dipangkas juga. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan air mata yang ingin mengalir lagi. Sudah cukup, Ivanna tak ingin terlihat lebih lemah lagi, meski sebenarnya tanpa menangis pun ia memang sudah lemah.

Rayden menarik kedua gadis itu ke dalam pelukannya yang hangat. Sementara ia mendongak, menatap langit yang dengan angkuh begitu cerah meski hati mereka sedang gundah gulana.

"Kalian tenang aja, kakak yang bakal urusin semua ini." Kedua kembar yang semula menunduk, kini kompak mendongak, menatap sang kakak.

Ivanna lebih dulu menggeleng. "Kakak enggak boleh ngasih tau papa-mama!" sentaknya lebih dulu. Tak menjawab, Rayden hanya tersenyum tipis. Tidak, itu bukan pertanda baik.

Ivanna segera memegang tangan kiri Rayden, lalu menatapnya penuh permohonan. "Jangan kasih tau mereka, Kak. Mereka bakal nyalahin kakak," pintanya.

"Harus ada yang bertanggung jawab, Vanna."

"Tapi, bukan Kakak!" hardiknya. Ia lalu menoleh pada Izora yang sejak tadi bungkam. "Zora, tolong kasih pengertian ke Kak Rayden. Enggak akan ada yang berakhir baik kalau papa-mama sampai tau."

Seperti tersadar, Izora yang sejak tadi diam kini melirik Ivanna penuh arti sebelum mendongak menatap Rayden.

"Kak, Ivanna bener." Satu kalimat itu mengambil alih atensi Ivanna dan Rayden. "Aku enggak mau diperlakukan lebih dingin lagi sama mereka kalau kabar ini sampai ke telinga mereka. Urusan di sekolah, kita selesaikan di sekolah aja. Enggak ada yang perlu bertanggung jawab, karena ... ini bukan salah kita."

Akhir ucapan Izora membuat mata Ivanna bergetar. Apa ucapan dari gadis itu berarti ... ia tak menyalahkan Ivanna lagi?

"Hanya satu orang yang perlu dihukum, enggak, tiga orang. Para pembully itu, aku enggak akan tinggal diam." Dari sorot matanya yang mengkilap, Ivanna yakin saudarinya itu tak sedang main-main.

"Karena itu ...," Izora menatap Ivanna dan Rayden bergantian. "Ini jadi rahasia kita aja."

Kini sorot tajamnya menghunus tepat manik hitam Ivanna. "Dan, lo-! Berhenti ngelakuin hal yang berbahaya. Gue enggak akan maafin lo untuk yang kedua kalinya. Ngerti?"

Selamatkan Mereka[On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang