Kepingan Syukur

20 1 0
                                    

Angin berhembus pelan, hujan baru saja reda, meninggalkan sensasi dingin di sekujur tubuh, menembus dinding dan selimut. Dingin membuatku terbangun, tanganku dengan pelan meraih selimut yang kini hanya menutupi kakiku saja. Ingin ku melanjutkan tidurku, namun mata enggan tertutup kembali. Bising! Kebisingan suara lato-lato benar-benar membuatku jengkel, rasanya bunyi lato-lato kini benar-benar menjadi bagian dari hari-hariku. Rasanya anak tetanggaku sedang mempersiapkan diri untuk memenangkan kompetisi lato-lato tingka dewa. Entahlah, aku pun terbangun, melangkah keluar rumah, duduk, diam.
Hari sudah petang, mataku memandang ke barat seperti posisi rumahku, awan tebal tetap memayungi duniaku sejak pagi tadi, eh bukan!! Sejak Sebulan yang lalu, karena memang musimnya.

Sore itu, para petani lalu lalang di jalan dengan lebar 2.5 meter depan rumahku, menenteng kayu bakar, sayuran, rumput ternak, menggandeng dan menggendong anak-anak mereka. 
Sungguh damai, Elok keliatannya, rupanya keputusanku untuk pulang dan menetap adalah pilihan yang tidak salah. Aku menjalani hari-hariku disini, di tempat yang aku sebut-sebut sebagai surga, karena memang seindah itu. Di tempat ini, aku belajar banyak hal, terlebih dalam hal syukur dan terima kasih. Kesederhanaan rupanya mendidik aku dengan caranya, dia mengajarkan banyak hal, tapi tahun ini, dia mengajarkan bagaimana caranya mencintai, bukan mencintai orang lain, karena aku cukup pandai untuk itu, tapi untuk mencintai diriku sendiri.

Biarlah kutuliskan disini!
Aku yang sering merasa insecure rupanya sudah monorehkan banyak luka pada diriku sendiri, sakit rasanya. Aku yang lebih ingin menjadi orang lain ketimbang menjadi diriku sendiri rupanya sudah menyakiti hati Tuhan yang sudah melukis diriku segambar dengan diri-Nya. Aku yang selalu membanding-bandingkan diriku dengan orang lain rupanya sudah meruntuhkan menara syukur yang pernah terbangun.

Namun disini, Kesederhanaan membawa kembali sejatinya diriku dengan caranya. Dia menemukan aku kembali diantara reruntuhan airmata, karena mengejar dunia dan kesempurnaannya adalah sia-sia, yang hanya meninggalkan luka Lala dalam dada. Aku Yang mengejar dunia rupanya hanya mengejar fatamorgana, semakin aku mendekat, dia semakin menjauh, kalaupun sampai dan dirasakan dapat, itu bayangan belaka.

Aku ingin bersahabat, bersahabat dengan diriku sendiri. Setelah lama terhanyut dan  terombang ambing dalam gelora zaman yang berkecamuk, yang menuntut kesempurnaan pada insan yang fana.
Aku tersadar, Aku adalah aku, bersama segala kekurangan dan kelemahanku, bersama Flek dan jerawat diwajahku, rambut keriting dikepalaku dan kulit hitamku yang membuatku menjadi aku. Tanpa itu semua, aku bukanlah diriku, lantas apa? Bukankah Syukur yang semestinya mendominasi?
Ya, Semestinya. Disini, kutemukan lagi kepingan syukur yang lama runtuh, lenyap, entah kemana.

Aku masih di sini, duduk, menulis tulisan ini sambil menatap langit yang perlahan menghitam, makin lama makin pekat. Angin berhembus kencang, suasana ramai tadi perlahan menghilang dan menyepi.
"Nana, Elvis Mai hang ga" suara Ibuku memanggilku untuk makan malam.
"Iyoo Mama, gereng cekoen" jawabku.

B E R S A M B U N G ..........

Demikian coretanku untuk kali ini, salamku untukmu yang membaca, maafkan segala kesalahan penggunaan kata yang tidak seperti semestinya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 12, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kepingan SyukurWhere stories live. Discover now