Bab 2: Bertemu

145 22 36
                                    

"Ya, atau Mama kenalkan dengan Pak Bambang!" seru Sayani dengan wajah serius. "Terus Mama kawinin sekalian!"

Pak Bambang, duda botak anak satu yang kaya raya di kampung halaman, dia sering cenglu atau bonceng telu alias bonceng tiga sama janda-janda di sana. Membayangkan Hening harus berboncengan dan berbagi kebahagiaan bersama mereka rasanya saja sudah sangat menyedihkan, mendingan berboncengan dengan soangnya Bu Kokom atau menjalin hubungan dengan gorila.

"Amit-amit, Ning nggak mau Ma ... Kanjeng ratu Sayani, tega betul!"

Percuma Hening merajuk, keputusan Sayani adalah mutlak, sesuatu yang harus segera ia jalankan. Tahu betul jika perkataan ibunya sudah serius, maka akan benar-benar dipegang hingga kapan pun. Apa lagi berkaitan dengan orang pintar dan segala sesuatunya yang memusingkan.

***

Aroma teh menyapa indera penciuman, tapi Hening seakan belum ada minat untuk sekadar meneguk. Udara malam yang kurang bersahabat tidak menjadi alasan untuk kembali masuk ke dalam rumah yang lebih hangat. Sejujurnya, pemandangan di luar rumahnya tidaklah buruk, di sana ada kucing kampung yang tidur dekat motor tetangga, rumputan hijau liar yang mengelilingi halaman membentuk seperti pagar, meski kurang dari satu meter.

"Jadi, gimana, lo matahin kursi lagi?"

Aden, adik Hening datang dengan membawa secangkir kopi hitam lalu duduk, mengangkat kedua kaki senyaman mungkin ke atas kursi. Mereka terpisah sebuah meja kecil, untuk menaruh minuman hangat milik keduanya.

Hening menggeleng pelan tanpa minat.

"Komputer tiba-tiba rusak? Numpahin minuman ke berkas penting?"

Hening perlahan menatap Aden yang sedang menyeruput kopi. Mata Hening bengkak dihiasi bibir yang melengkung ke bawah, sama sekali tidak terlihat raut wajah kebahagiaan darinya. Auranya suram, pertanyaan Aden entah bermaksud untuk menghibur atau menyindir.

"Astaghfirullah." Aden perlahan menaruh minumannya ke meja sambil mengelus dada, kaget saat melihat penampilan kakaknya yang separah itu.

"Sorry, sorry. Gue nanya beneran, Mbak."

Hening menghembuskan napas berat, fokusnya beralih ke depan. "Jadi ...."

Hening menceritakan semuanya kepada Aden. Soal pekerjaan dan juga ancaman Sayani. Ia sudah muak dengan kecerobohan yang bahkan tidak jelas kebenarannya. Maksudnya, benar dia yang melakukan, tapi faktor aneh yang sulit dijelaskan sangat andil besar sebagai penyebabnya.

Aden mengelus punggung kakaknya dengan lembut, menyulut tangis terisak dari gadis itu setelahnya. Tidak biasanya Hening menangis di hadapan Aden, berarti situasi sudah sangat mendesak.

"Sudah, Mbak, ikuti kata Mama aja." Aden mengeluarkan gawainya, sambil mengetikkan sesuatu. "Mau lo kabur juga nanti yang ada dikutuk Mama jadi batu, tahu sendiri omongan Mama itu suka betulan kejadian."

"Nggak nekat sampai kayak gitu, lagian kalau kabur mau tidur di mana gue? Rumah teman juga nggak mungkin, kebanyakan udah pada punya suami, dikira kumpul kebo yang ada." Hening bersandar pada kursi, sambil mengelap air matanya dengan kasar, ia benci dirinya yang lemah, minusnya tidak memiliki banyak teman mungkin jika terdesak seperti ini. Tidak bisa leluasa meminta tolong.

"Tenang Mbak, gue kasih dua opsi," Aden menunjuk gawainya dengan santai, "pertama, ada kenalan gue yang kriterianya ya ... sebelas dua belaslah bisa diakalin, nanti gue kirimin nomornya. Terus opsi kedua, cari di aplikasi pencarian jodoh. Nanti gue kasih link-nya. Beuh, jaman sekarang nyari jodoh tuh gampang Mbak."

Hening merasa tertarik dengan tawaran Aden, ia menatap adiknya yang sedang menaik-turunkan alis sambil menarik senyum bangga.

"Temen gue itu matanya nggak kecokelatan banget sih ... bisa lo minta dia pakai softlens aja. Tapi abis ini tetap lo coba juga yang aplikasi pencari jodoh itu. Kelar kan masalahnya, udah, gue masuk dulu mau lanjutin kerjaan. Semangat, Mbak." Aden menepuk pelan pundak Hening seraya melenggang masuk membawa cangkir kopi yang isinya telah habis.

MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang