"Nggak ada satupun manusia yang sempurna di dunia ini, dan gue yakin, Satya Samudera adalah salah satunya"—Alvaro Ganesha Tristanio.
SATYA SAMUDERA, sumber dari segala kekesalan Alvaro itu sedang membolak-balik jurnal tebal di hadapannya. Dari balik lemari tinggi yang menjadi tempatnya bersembunyi, Alvaro menatap dosen lulusan Cambridge University itu dengan tatapan bosan.
Untuk ukuran dosen muda yang berhasil meraih gelar professor di usianya yang baru menginjak angka dua puluh delapan, Satya Samudera sebenarnya punya tampang yang bakal membuat cowok-cowok gay seperti Alvaro tergila-gila. Perpaduan darah Kaukasian serta Jawa yang mengalir di tubuhnya rupanya berhasil menciptakan sosok laki-laki berwajah sendu namun penuh kharisma. Alvaro yakin, tak sedikit cewek-cewek di kelasnya yang pernah berfantasi terhadap tubuh tinggi Satya serta bahunya yang lebar.
Jujur saja, waktu awal dosen itu memperkenalkan diri sebagai dosen pengampu di prodinya, Alvaro sempat menaruh ketertarikan pada lelaki itu. Jauh sebelum pemuda itu menemukan fakta bahwa Satya Samudera adalah musuh terbesar dalam kehidupan kampusnya beberapa semester kemudian.
Dari gosip yang beredar di penjuru kampus, Alvaro pernah mendengar bahwa Satya Samudera adalah satu dari mahasiswa Indonesia yang mendapatkan gelar istimewa di bidang bisnis. Tentu saja, Alvaro tidak heran mengingat betapa sosok Satya Samudera begitu membosankan dan menyebalkan di matanya. Dia benci manusia yang terlalu perfeksionis. Baginya, menjadi sempurna hanyalah coping mechanism bagi mereka yang tidak bisa menikmati hidup. Sebab menurutnya, hidup adalah sebuah anugerah yang seharusnya bisa dinikmati, bukan untuk mengurusi hal-hal yang justru membuat kita tertekan.
"Pantes aja sampai sekarang dia nggak kawin-kawin!" celetuk Alvaro dengan kekehan kecil di sudut bibirnya. Membuat beberapa mahasiswa yang tengah sibuk membaca buku di sebelahnya menatap pemuda itu dengan risih.
Tak mengindahkan mahasiswa-mahasiswa itu, Alvaro memutuskan mengayun langkah menuju Satya yang masih sibuk menandai jurnal di hadapannya dengan highliter. Begitu kedua sepatu keds-nya terhenti tepat di hadapan laki-laki yang siang ini mengenakan kemeja berwarna biru telur itu, sang target segera mengangkat kepalanya dan membuat Alvaro segera berhadapan dengan mata cokelat tua milik dosennya itu.
"Saya datang buat memberikan penawaran kepada Bapak." Tanpa tedeng aling-aling, Alvaro menjatuhkan pantatnya ke atas kursi di seberang Satya. Membuat sosok berkacamata yang baru saja disebut namanya itu menatap Alvaro dengan tatapan tak percaya.
"Saya perhatikan, Bapak senang sekali bermain-main dengan nilai semester saya," lanjut Alvaro karena sang dosen masih enggan memberikan respons. "Jadi bagaimana kalau mulai semester ini, kita memulai sebuah kerjasama?"
Menutup jurnal di hadapannya yang telah penuh dengan coretan berwarna jingga, Satya menegakkan kepala supaya pandangannya sejajar dengan mahasiswa kurang ajar di hadapannya. Laki-laki itu menyesap kopi dari cangkir kertas di atas mejanya, sebelum kemudian mulai membuka mulut.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHASING THE PROFESSOR
Roman d'amourAlvaro Ganesha Tristanio kelabakan! Bagaimana tidak? Setelah dua semester lalu sang dosen begitu senang mengacak-acak nilainya, semester ini pun rupanya sama saja. Hanya karena dia sering absen kuliah karena ngeband, sang dosen yang bernama Satya S...