Naury menaruh bekal makan di tengah-tengah meja kantin. Cupcake warna-warni muncul begitu dibuka. "Aku yang deg degan menunggu hasilnya. Jadi semalam aku buat ini buat merayakan siapapun yang berhasil—"
Daisy berdiri, membawa piring kosongnya. Pergi dari sana. Memuakan sekali, orang-orang selalu saja membicarakan keberhasilan Aluna. Seolah-olah Daisy adalah manusia gagal yang kalah dari si rangking dua.
"Daisy!" Naury berdiri memanggilnya. Namun Daisy bahkan tidak menoleh sedikitpun.
Naury menghembuskan napas, menatap dua orang di depannya. Cetta masih marah dengan Fuschia, dan Aluna berhasil lolos untuk lomba olimpiade matematika dua minggu lagi, membuat Daisy mendidih. Meski tadi Daisy sempat makan bersama karena dipaksa Naury. Tapi akhirnya, begini. Pertemanan mereka terancam bubar.
Naury terduduk kembali. Ini bukan suasana yang bagus untuk makan cupcake imut yang Naury buat sampai larut malam. Raut wajah Fuschia sama sekali tidak baik. Apalagi Aluna. Dia lebih mirip orang yang ditolak daripada yang berhasil.
"Kalau kita bubar, aku harus ngajak siapa lagi buat kerja kelompok prakarya minggu depan?"
Naury menatap cupcake imut yang belum tersentuh sama sekali. "Lagipula kita ini sudah dewasa. Tidak perlu genk seperti anak SD saja. Bahkan kita bukan girlband. Konyol sekali."
Fuschia mengambil satu cupcake. Memakannya dalam sekali suap. Tak terasa air mata menetes. "Enak banget, Naury."
Naury mengangguk. "Cetta sama Daisy tidak akan berlama-lama marah, kan? Dia akan merindukan cupcake ini kan?"
Aluna berdiri, suasana lebay macam apa ini. Dari pada mual-mual melihat tingkah mereka, lebih baik dia pergi ke perpustakaan. Sampai ada sesuatu yang membuatnya merubah rencananya.
Daisy melangkah cepat di tengah lorong tempat para murid lain melihatnya dengan bebas. Berita si rangking 1 yang kalah dari si rangking 2 menyebar begitu cepat. para murid kini punya asumsi yang mengatakan Daisy sebenarnya masih di bawah kemampuan Aluna. Atau selama ini, Daisy bisa menduduki peringkat pertama karena ayahnya adalah seorang kepala sekolah baru.
Bahkan di berita lain, Aluna yang dikatakan merebut posisi kandidat untuk olimpiade. Berita ini masih menjadi buah bibir di mana-mana. Mengalahkan berita kasus pencurian di kelas 14.
Club Jurnalis bak reporter kehausan berita. Mereka menghubungi Daisy untuk diundang ke acara podcast mereka. Membuat nada notifikasi beruntun yang memuakkan. Langkahnya semakin cepat, menghindar dari tatapan-tatapan mengintimidasi dari mereka.
Di ujung lorong yang sepi, Daisy akhirnya mengeluarkan handphone-nya, melemparnya ke lantai. Dinjak-injaknya hingga layarnya pecah. Gadis itu berteriak yang sebisa mungkin ditahan. Air matanya menetes. Disandarkannya tubuh ringkih itu di dinding, rok nya sudah kusut sejak tadi. Napas memburu. Berusaha menahan diri sebelum ada seseorang datang.
Tiba-tiba ada sekotak tisu yang di hadapannya. Daisy menatap tajam kepada si pemberi. Sungguh memalukan ada yang melihatnya sedang sekacau ini sekarang. Menghiraukan Than dan sekotak tisu, Daisy melangkah pergi.
"Coba deh lo ngaca, muka lo kayak apa sekarang."
Gadis itu akhirnya berhenti melangkah, pundaknya bergetar, tangan meremas rok. Than lantas mendekatinya. "Hei, maaf."
Daisy menarik beberapa lembar tisu. Memalingkan wajahnya ke arah dinding. Usai membersihkan wajahnya, speaker sekolah berbunyi, menyebut namanya.
"Panggilan kepada Daisy Arice Nova kelas X MIPA 1 harap datang ke ruang bimbingan konsenling secepatnya. Sekali lagi, kepada Daisy Arice Nova harap datang ke ruang bimbingan konsenling secepatnya, terima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunflowers In The Grass (tamat)
Fiksi Remaja"Lo hanya rumput yang tumbuh di sekitar bunga indah seperti gue." Bagi orang-orang di sekitar Aluna, dia hanya terlihat seperti gadis biasa. Memang tidak ada yang begitu mengganggu dari Aluna. Namun, bagi Daisy, Aluna itu rumput liar yang selalu men...