Become a chef

136 12 1
                                    

William kini berdiri di depan gerbang megah sebuah mansion. Sewaktu taksi yang ia tumpangi tadi berhenti di sana, ia sudah melongo tak percaya. Ternyata ada mansion sebesar ini di Neo City? Gerbang besar dihadapannya membuatnya terlihat seperti kurcaci, padahal di rumahnya ia sudah seperti raksasa.

William berjalan menuju tembok dekat gerbang. Di mana alamat tertulis di sana, terukir pada marmer berwarna gading.

Kim Mansion
Jl. Mamba 360
Neo City, Distric Kwangya

Benar. Ini sudah benar. Alamat yang tertera pada pamflet lowongan pekerjaan yang Hendery berikan padanya minggu lalu dan pada email penerimaan yang ia terima.

Sekarang William mengerti mengapa mereka menetapkan syarat pelamar yang begitu tinggi. Mengapa juga mereka sampai mencari seorang chef khusus untuk memasak makanan mereka, padahal sekedar pembantu biasa saja juga bisa.

Nyali William menjadi ciut. Padahal ia sudah sangat percaya diri kemarin. Bunda, Junie, dan Hendery memuji hasil masakannya tiada tanding. Tapi hari ini, kemungkinan besar ia akan menghadapi koki yang lebih professional ketimbang dirinya. Ia mulai ragu. Takut-takut malah mempermalukan dirinya sendiri nanti. Tapi kalau ia berbalik dan pulang, ia harus mengatakan apa pada Bunda dan Hendery nantinya?

Benar. Hari ini adalah seleksi praktek untuk menjadi koki khusus di mansion itu. Satu tahapan lagi, tahapan terakhir dan tahapan paling fatal.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

William menoleh dan mendapati seorang pria dengan seragam satpam menyapanya ramah. Pria itu baru saja keluar dari dalam gerbang mansion. Ia dapat melihat ada pria lain yang baru saja masuk ke sana.

"Saya pelamar kerja sebagai koki," jawab William dengan cepat.

"Langsung masuk saja, Tuan. Mari saya antar."

William merasa tidak perlu sampai harus diantar, ia merasa tidak enak harus mengganggu pekerjaan satpam itu. Tapi, bukan satpam yang mengantarnya. Sebuah mobil golf sudah menunggunya. Di dalamnya sudah ada pria berbaju cokelat yang kemungkinan besar adalah pria yang baru saja masuk sebelum ia. Seorang pria berjas yang berdiri di dekat mobil itu tersenyum padanya.

"Tuan William Park, benar?" tanyanya.

William hanya bisa mengangguk. Kemudian ia dipersilakan untuk duduk di kursi belakang mobil, di samping pria berbaju cokelat. Pria itu menengok padanya dan tersenyum sebagai sopan santun, setelahnya ia hanya sibuk memperhatikan -atau lebih tepatnya, menatap takjub- sekitar mansion, sama seperti yang dilakukan William.

Jarak dari gerbang menuju pintu masuk mansion cukup jauh. Rerumputan hijau terhampar di samping jalan yang mereka lalui. Ia dapat melihat latar belakang mansion itu adalah hutan. Mansion itu sendiri, bergaya eropa klasik dengan tembok berbata putih dan sudah dikelilingi tumbuhan rambat. Tapi tidak terlihat usang ataupun tidak terurus, itu justru terlihat cantik.

Mobil golf berhenti. Seorang pelayan wanita langsung menyambut mereka. Mereka harus menaiki tangga untuk sampai ke pintu masuk mansion.

Sepanjang ia memperhatikan, ruangan setelah pintu masuk ini bernuansa modern dengan warna hitam putih yang mendominasi. Setelah masuk ke dapur, lantai berubah menjadi lantai kayu.

Seorang wanita cantik duduk dengan anggun di meja makan sambil memegang cangkir keramik berwarna putih. Usianya terlihat seperti baru memasuki kepala tiga. Nyonya muda. Mungkin dia baru saja menikah.

Ia tersenyum begitu William dan pria berbaju cokelat itu masuk. Ternyata sudah ada dua orang lagi di sana, sudah siap dengan apron di tubuh mereka, berdiri di balik pantry. Tapi tak lama mereka melepas apron mereka dan beranjak pergi mengikuti pelayan lain di sana.

"Sekarang giliran kalian. Pakai apron itu,"

William dan pria berbaju cokelat menoleh pada arah yang ditunjuk sang wanita. Seorang pelayan menghampiri mereka dan memberikan apron pada mereka.

"Buatlah sesuatu yang dapat membuatku menerima kalian menjadi koki di sini. Semua bahan sudah tersedia, kalau ada yang kalian butuhkan lagi, katakan saja pada Maid Jo." tutur wanita itu lembut tapi tegas.

"Silakan, maksimalkan waktu yang kalian miliki,"

~~~

Satu jam berlalu, akhirnya masakannya selesai. William tersenyum percaya diri melihat hasil masakannya. Meski awalnya ia tidak percaya diri melihat pria berbaju cokelat yang tampak piawai di dapur dan membuat begitu banyak makanan. Dari mulai appetizer, main course, sampai dissert.

Tapi ia ingat pesan bundanya untuk tidak melihat orang lain, fokus saja pada diri sendiri. Dalam kompetisi, jangan pernah menengok apa yang dilakukan orang lain, fokus saja pada pekerjaanmu sendiri. Percaya diri, itu kuncinya.

Ia hanya membuat satu makanan. Makanan yang sangat terpatri dalam ingatannya. Makanan yang memiliki makna tersendiri bagi hidupnya. Dia berharap, hati yang ia masukkan pada masakannya akan membuat calon majikannya terkesan dan menerimanya.

~~~

Tok, tok.

Sebelum ada jawaban, pintu kayu kamar itu sudah terbuka. Dua orang pelayan dengan nampan di tangannya, bersama seorang wanita dengan gaun rumah berwarna biru langit masuk beriringan.

"Lagi?" ucapan malas terdengar dari gadis yang tengah terduduk di tempat tidurnya, seperti orang sakit.

"Ini yang terakhir, Sayang. Cobalah, siapa tahu kau menyukainya kali ini." ujar lembut si wanita sambil mengusap lembut rambut sang gadis.

"Perut Rina masih sakit karena yang sebelumnya, Ma," gadis itu memegangi perutnya.

"Ini yang terakhir, Sayang. Tolong jangan ditolak, ya. Demi tubuh kamu juga."

Sedikit ragu, gadis bernama Rina itu mengangguk kecil. Kedua pelayan menaruh makanan di meja kecil yang sudah ada di depan Rina.

"Kenapa banyak sekali?"

"Pilih yang mana saja yang ingin kamu makan."

Rina mengangkat sendok sup dan mencoba sup tauge. Wajahnya masih seperti enggan, ia langsung mengambil air putih dan menengguknya banyak-banyak.

Matanya kini tertuju pada mangkuk berisi nasi dengan chicken katsu dilengkapi telur mata sapi dan kol rebus.

Ia memandangi mangkuk itu cukup lama. Lalu akhirnya mengambil sumpit dan langsung memakan katsu itu dalam gigitan besar.

Matanya berbinar, seolah terkejut. Lagi, ia menyuapkan lagi potongan chicken katsu lain pada mulutnya. Kini, ia sudah melahap pula telur mata sapi beserta nasinya.

Tak sampai lima menit mangkuk chicken taksu itu bersih. Hal itu membuat wanita yang Rina panggil mama menutup mulutnya dan berlari keluar kamar.

Untuk pertama kalinya sejak kematian putra sulungnya, putrinya itu dapat makan dengan lahap seperti tadi. Tidak memuntahkannya di suapan kedua atau mengeluh perutnya sakit. Ini seperti keajaiban baginya.

"Maid Jo, siapa yang memasak chicken katsu itu?" tanyanya pada pelayan yang dimintanya mengawasi para calon kokinya tadi.

"Dia William Park, Nyonya Kim."

"Baiklah,"

Begitu memasuki dapur, Nyonya Kim menatap pria berbaju putih, yang menurut Maid Jo bernama William Park. Pria itu duduk tertunduk di kursi meja makan. Tangannya saling bertaut di bawah meja.

Rasanya ingin berterimakasih sambil memeluknya karena berhasil membuat putrinya makan dengan lahap. Tapi tidak, dia harus terlihat setenang mungkin.

"Tuan Park?" Nyonya Kim membuka suara.

William segera berdiri dan menganggukkan kepalanya.

"Selamat, kau resmi menjadi koki di rumah ini."

~~~








































🥰🥰

It's Very Familiar TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang