Bagian 20

45 5 0
                                    


Hari masih amat pagi, matahari masih belum terlihat, hanya cahaya terangnya yang sudah menyinari bumi. Ervi duduk melamun di meja kasir warungnya. Matanya hanya bisa menatap kosong ke pintu kaca yang masih belum ada pengunjung yang memasukinya. Semburat raut kesedihan terlihat jelas di wajah Ervi. Ketakutan akan kemungkinan terburuk begitu ia rasakan. Entahlah, mungkin hanya tinggal menunggu waktu, warung yang telah ia rintis dari nol tersebut akan hilang begitu.

Sepanjang hari hingga larut malam, berhari-hari pun telah berlalu. Ervi selalu memikirkan bagaimana caranya agar ia dapat uang untuk membayar semua hutangnya. Ada hutang kepada Bu Tini lima juta, juga biaya sewa tempat warungnya sepuluh juta. Beberapa bulan lagi semseter baru, itu berarti ia juga harus membayar uang semesternya dan Nadira. Jumlahnya pun sekitar lima juta setengah. Ervi menggeleng, matanya berkaca-kaca, apa ini adalah akhir dari perjuangannya panjangnya? Apa yang ia rintis dan jalani secara perlahan, sekarang akan sirna karena pandemi yang datang mendadak dan merenggut semua mimpi-mimpinya.

Dulu ia selalu berangan-angan warung kecil tersebut akan menjadi besar. Kemudian ia bisa membuka cabang di pusat perbelanjaan terbesar di Pekanbaru. Hingga nantinya ia bisa buka warung besar dan mewah. Bahkan untuk mewujudknya mimpi-mimpi itu, Ervi sudah menyisihkan uang, mengambil ancang-ancang untuk mewujudkan satu persatu impian tersebut. Tapi sekarang semuanya menguap begitu saja. Bahkan warung kecilnya sudah terancam hilang jika hutangnya tidak bisa dibayar segera.

"Apa ini akhir dari segalanya, Tuhan?" Ervi lirih seorang diri.

Nadira masih sibuk kuliah online di kamarnya. Membuat Ervi sendirian di meja kasir meratapi nasib yang harus ia jalani.

Saat Ardan masuk ke dalam warung itupun, Ervi tidak menyadari sama sekali. Ia baru tersentak kaget saat Ardan bertanya.

"Apa kamu jaga sendirian hari ini?"

Ervi menoleh, ia menghirup nafas kasar seketika. Memperbaiki posisi duduknya dan kemudian tersenyum tipis kepada Ardan.

"Nadira lagi kuliah di atas, kamu ada perlunya dengannya?" tanya Ervi berusaha seramah mungkin kepada Ardan, melupakan pertemuan terakhir mereka.

"Hari ini aku ke kantor, teman-temanku mau makan menu masakan kalian lagi. Bisa aku mendapatkan nomor kalian? nanti aku kirim apa pesanan teman-temanku, jadi aku tinggal jemput kalau masakannya udah siap," jelas Ardan.

Ervi berdiri, membalas tatapan Ardan dengan lekat. "Apa itu berarti kamu menarik kalimatmu kemarin? kamu akan kembali langganan disini?"

"Apa kamu sedang mengejekku? Menganggapku menjilat ludahku sendiri?" Ardan balik bertanya.

Ervi menggeleng, laki-laki di hadapannya terlihat tersinggung dengan pertanyaannya tadi. "Aku tidak mengejekmu, aku hanya merasa terlalu berlebihan saat kamu mengatakan tidak akan ke sini lagi karena masalahku dengan laki-laki yang kemarin."

Ardan hanya menggeleng pelan, ia mengeluarkan ponsel dan memberikannya kepada Ervi. "Simpan nomormu disini, nanti siang aku akan kirim pesanan teman-temanku yang lain."

"Kantormu dimana?" tanya Ervi.

"Apa hal itu penting?" Ardan balik bertanya(lagi).

"Jika kantormu jauh, lebih baik kamu beli makanan terdekat dengan kantormu saja, jangan terlalu berlebihan untuk membantu kami, apalagi kalau kamu harus bolak balik sangat jauh," ucap Ervi dengan hati-hati.

Ardan mengembuskan nafas panjang mendengar alasan Ervi. "Kantorku dekat sini, makanya aku kos juga di dekat sini. Kalau kantorku jauh, aku nggak bakalan cari tempat tinggal di sekitar sini."

Kepala Ervi mengangguk. Alasan Ardan cukup masuk akal. Ia meraih ponsel Ardan untuk segera mencatat nomornya disana. Di layar ponsel laki-laki itu, Ervi termenung memandang foto laki-laki paruh baya, berkumis tebal, berkacamata bulat berwarna keemasan. Kulit laki-laki itu berkeriput, giginya putih dan rapi. Ia tersenyum begitu hangat ke arah kamera yang memotretnya.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang