Prolog
"Kenapa kita...," suara gadis itu bergetar. Matanya mengerjap-ngerjap menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Ia mengumpat dalam hati. Rasanya sudah cukup banyak dia menangisi orang ini, tapi tetap saja air matanya tidak kunjung kering. Masih saja bola matanya digenangi genangan emosi cair itu.
"Saya nggak tau Aleyna...," lelaki yang bersamanya menyahut. Suaranya nyaris tidak terdengar. Mata itu kering. Tidak ada tanda-tanda akan menangis sedikitpun. Tapi wajahnya menunjukkan rasa sakit yang jauh lebih memilukan daripada sekadar tetesan air mata. Seperti ada yang mencengkram jantungnya kuat-kuat, lalu menariknya. Wajahnya menegang menahan sakit seakan ada yang menusuk pinggangnya dengan pisau tajam. Ngilu hingga ke tulang. Dia meringis. Sakitnya menyebar ke setiap sendi. Nyeri.
"Kamu sudah makan?" lelaki itu bertanya lembut.
Air mata yang sejak tadi mati-matian ditahannya meluruh turun tidak bisa dibendung saat mendengar pertanyaan itu. Aleyna tertunduk menempelkan kedua belah tangannya menutupi wajah, lalu terisak. Dia tidak melihat bagaimana lelaki yang duduk disampingnya mengerang pelan. Menggigit bagian dalam pipinya. Sangat ingin dia menjatuhkan rasa sakit dan penatnya lewat air mata seperti yang Aleyna lakukan. Biar saja air matanya sampai kering. Tapi tidak bisa. Sedikitpun cairan itu tidak berkumpul di matanya padahal rasa yang menyesaki dadanya sudah tidak terbendung. Ia hanya diam mematung menahan sakit yang menggerogoti tiap sendinya.
"Harusnya kamu tidak muncul saat itu. Harusnya kamu nggak usah pedulikan saya. Harusnya kamu nggak tersenyum dan bikin saya hilang akal. Harusnya dari awal saya nggak usah kenal sama kamu, Fabio," Aleyna terisak dalam dekapan telapak tangannya di wajah.
"Maafin saya...,"
Bahu Aleyna makin berguncang. Dia tidak bisa menyembunyikan isak yang mati-matian ditahannya sejak tadi.
Fabio minta maaf untuk apa? Karena membuat Aleyna jatuh hati? Minta maaf karena meminta Aleyna datang ke tempat yang dia janjikan, tapi malah Fabio tidak kunjung datang? Minta maaf karena membuat seluruh darah Aleyna nyaris berhenti mengalir dan membeku karena dinginnya salju saat harus menunggu orang ini? Oh, atau meminta maaf untuk waktu-waktu panjang yang dihabiskan Aleyna dengan memakinya dalam rindu? Kalau Fabio minta maaf untuk itu, maka itu tidak cukup. Tidak pernah cukup membayar sakit yang Aleyna rasakan saat harus menanggung benci sekaligus cinta yang menekannya hingga sesak.
"Saya pasti sudah bikin kamu sakit banget kan? Saya juga sakit, Al," Fabio bergumam lirih, "Saya pikir kalau saya mengulur waktu, sakitnya akan kurang. Tapi saya salah Al... Sakitnya sama aja ternyata... Jauh lebih sakit malah...," Fabio menelan ludah membasahi tenggorokannya yang terasa sangat kering. Terasa sakit saat berujar.
"Harusnya saya nggak jadi pengecut dengan memilih pergi tanpa ngasih tau kamu apa masalahnya. Saya salah, Al. Maafin saya...," lanjutnya pelan.
Aleyna menahan isakannya. Menghapus kasar air matanya dengan punggung tangan. Ia mengumpat takdir. Mengumpat Fabio. Mengumpat dirinya sendiri. Mengumpat semua yang membuatnya kehilangan pengharapan. Kenapa dia merasa di permainkan dengan telak. Ia muak ketika tidak punya ide untuk meluapkan kemarahannya pada siapa.
Mereka berdua terdiam. Membiarkan salju yang mulai luruh satu-satu jatuh menumpuk di pucuk-pucuk pohon, di atas tumpukan salju yang sama di jalanan, di atap bangunan, dan ikut bertumpuk di permukaan pakaian yang mereka kenakan. Harusnya mereka menggigil kedinginan. Tapi sepertinya sepasang tubuh itu mati rasa dengan dingin yang menusuk. Mereka menggigil. Bukan karena udara yang beku, tapi karena menahan sakit masing-masing.
Dia belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Tapi sialnya, saat merasakan jatuh cinta yang sering di dengarnya itu, dia malah jatuh dengan telak. Jatuh yang sangat dalam dan keras sampai untuk bangkit pun terasa berat. Lututnya goyah.
Aku harus berdamai dengan takdir, Aleyna akhirnya membatin pasrah. Sekeras apapun dia menolak kenyataan yang disuguhkan jalinan takdir padanya, tetap saja tidak mampu menghapus ikatan yang sudah terjalin terlalu kuat antara dirinya dengan lelaki ini. Aleyna menghirup udara dalam-dalam untuk memenuhi dadanya yang terasa kering. Matanya terpejam. Ia mengumpulkan seluruh daya yang dia punya untuk tetap berdiri dan mampu berkata-kata.
Aleyna menggigit sudut bagian bawah bibirnya, "Mas...Bio...," terpatah dia menggumamkan nama itu, "Mas Bio...," ulangnya lagi.
Berapa kali dulu dia sempat meminta gadis ini memanggilnya dengan panggilan itu. Tapi Aleyna-nya yang keras kepala menolak keras. Dia terus saja memanggil Bio... Bio...Bio... Sekarang saat Aleyna menambahkan embel-embel 'Mas' pada namanya, Fabio justru merasakan ulu hatinya disodok dengan benda keras. Sakit, ngilu, nyeri, pedih. Ia mengerang lirih menahan sengatan sakit.
"Saya harus panggil kamu Mas Bio kan mulai sekarang? Iya kan... Mas Bio... abang saya...,"
Untuk pertama kalinya Fabio merasakan tatapan matanya mengabur. Sesak yang kerap menghimpit dadanya kini perlahan naik. Memenuhi matanya dengan genangan emosi cair. Pandangannya mengabur. Mulutnya membuka mencoba menghirup udara, karena dari hidung saja tidak cukup banyak untuk memenuhi dadanya.
"Iya...," suaranya serak nyaris tidak terdengar, "Iya...Aleyna...," akhirnya genangan itu turun tanpa suara. Tanpa isakan. Tidak tau harus bersyukur atau memaki saat Fabio merasakan ada air mata bergulir turun pelan-pelan di kulit pipinya. Mungkin ia harus bersyukur karena pada akhirnya bisa menangis. Bukankah itu yang dia inginkan. Menangis agar bebannya terangkat. Meski cuma sedikit tidak masalah, setidaknya dia bisa bernafas dengan sedikit lebih lega. Satu persatu masalahnya mulai berakhir. Simpul yang kusut pelan-pelan mulai menemukan alurnya.
"Saya...boleh minta sesuatu sama kamu... Mas...," Aleyna berujar pelan.
Fabio mengangguk menyanggupi. Bahkan kalau Aleyna memintanya membenamkan tubuh kedalam Danou River yang membeku pun dia akan terjun. Biar dingin air membekukan rasa sakit yang menyengatnya.
"Bisa nggak Mas peluk saya? Kali ini...untuk kali ini saja...lupakan kalau kita punya ayah yang sama...please...," Aleyna menahan agar air matanya tidak jatuh lagi, "peluk saya bentar. Kayak dulu. Saya Aleyna dan kamu Bio...please bentar aja...,"
Fabio seperti kehilangan kendali pada system kerja tubuhnya. Tangannya terulur begitu saja menarik Aleyna dalam dekapan. Seerat yang kedua lengannya mampu, ia terus mendekap gadis itu. bahkan kalau Aleyna merasa sesak, ia tidak akan melepaskan pelukannya. Terakhir... Ini yang terakhir sebelum dia benar-benar harus menghapus semuanya. Menguburnya dalam-dalam.
Fabio membenamkan wajahnya dalam-dalam ke rambut Aleyna. Membiarkan salju terus turun. Membiarkan kenangan menariknya kembali saat pertama kali melihat gadis dalam pelukannya ini menggesek biola sendirian di tepi danau, membersihkan luka bekas berkelahinya, memaki Alvaro, menantangnya berkelahi, dan...meneriakkan kalau dia mencintai Fabio. Bagian mana yang perlu dihapus dari kenangan itu?
Semua?
TBC
Sedikit tentang Al-Bio. Cuma dua part ^^