Bagian 21

43 7 0
                                    

Ardan masih berada di depan warung Ervi. Sedari tadi ia memperhatikan Burhan dan Ervi yang tampak samar dari dinding kaca warung tersebut. Jelas sekali Ardan melihat keributan kecil ayah dan anak itu. Walaupun dia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi Ardan dapat menilai dari gerakan tubuh mereka berdua.

Saat Burhan keluar dari pintu warung itu, ia berhenti sejenak memperhatikan Ardan. Sadar bahwa laki-laki itu belum pergi sama sekali sejak ia datang tadi. Burhan menatap Ardan dengan mata menyelidik. Ia menduga bahwa Ardan bukan pengunjung biasa di warung itu. Mungkin teman Ervi atau Nadira. Atau bahkan lebih dari sekedar teman.

Melihat sorot mata Burhan, Ardan memilih menunduk dengan senyuman kecil, memberi hormat kepada Burhan. Mereka lengang tidak ada yang bersuara, hanya suasana mereka yang terasa tegang karena Burhan yang masih menahan emosi atas sikap Ervi kepadanya. Burhan memilih segera pergi dari sana. Mengabaikan Ardan yang masih berada di motornya yang memperhatikan langkah kepergian Burhan.

Setelah Burhan cukup jauh meninggalkan warung tersebut—mendekati depan gang di tepi jalan besar, Ardan turun dari motor. Ia melangkah cepat untuk masuk ke dalam warung Ervi dan menghampiri gadis itu di meja kasir. Di sana Ervi tertunduk sedih—masih menangisi tentang ayah dan keluarganya yang hancur. Bahkan Ervi tidak menyadari bahwa Ardan sebenarnya masih belum pergi dari sana.

Ardan mengambil beberapa tisu di meja terdekat dengan kasir itu.

"Kamu membutuhkan ini?" tanya Ardan dengan suara pelan.

Spontan saja Ervi mengangkat kepala karena kaget ada yang datang. Ia mengusap air matanya, memandang Ardan dengan gugup, tak mengira laki-laki itu masih ada disana.

"Ambillah," lanjut Ardan menawarkan tisu yang dipegangnya.

Ervi menggeleng, ia memilih menghapus air mata dengan tangannya sendiri. Ardan kemudian membantu menghapus air mata Ervi dengan tisu yang dipegangnya. Ervi menepis tangan Ardan, tapi laki-laki itu memaksanya, hingga Ervi memilih mengalah.

"Jika kamu mau bercerita, berceritalah kepadaku," ucap Ardan setelah memastikan air mata Ervi sudah kering di pipinya.

"Kamu melihat semuanya?" tanya Ervi menyelidik, Ardan hanya mengangkat kedua bahunya. "Jangan sok peduli dengan kehidupanku. Kamu tidak akan bisa memberi solusi apapun untuk masalahku ini." Ervi kembali mengusap matanya.

"Terkadang seseorang hanya perlu bercerita untuk mengurangi beban di hatinya. Bukan mendengarkan solusi dari orang lain."

Untuk beberapa saat Ervi terdiam, teringat kepada Nadira yang tengah sibuk kuliah di lantai atas. Ah, dia sungguh bingung sekarang. Melihat sosok laki-laki yang begitu peduli dengan kehidupannya, tapi di sisi lain ia tidak ingin menyakiti perasaan sang adik yang dinilainya memiliki perasaan kepada Ardan.

Laki-laki berjaket hitam itu mengulurkan tangannya kepada Ervi. "Jika kamu tidak mau bercerita apapun, setidaknya genggam tanganku dengan erat, lepaskan saja semua masalahmu di tanganku ini."

"Apa maksudmu? jangan melakukan hal yang aneh-aneh," elak Ervi yang mulai merasa tidak nyaman dengan sikap Ardan.

"Seseorang selalu butuh tempat untuk bersandar dari semua masalahnya. Agar beban yang dirasakannya bisa berkurang, setidaknya itu yang bisa kutawarkan kepadamu sekarang, agar bebanmu terasa lebih ringan."

"Pergilah, bukannya kamu mau ke kantor, nanti kamu malah terlambat." Ervi berdiri, membuka laci kasirnya, mencari kesibukan sendiri, mencoba mengelak dari Ardan. Sementara Ardan melihat tangannya yang masih terulur dengan rasa kecewa. Ia menarik tangannya tersebut dan berusaha untuk tersenyum.

"Baiklah, jika kamu butuh teman untuk berbagi bebanmu, aku siap menjadi temanmu, rasanya selalu menyenangkan memiliki teman baru, sepertimu dan Nadira." Ardan kemudian pamit dan pergi dari sana. Meninggalkan Ervi yang kembali melihat kepergiannya dengan perasaan tidak nyaman.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang