BAB 18: Bulan Kerja

67 14 0
                                    

Sebelum gue menutup pintu, gue dan Dea berpandangan sebentar. Dia melambaikan tangannya, mengantarkan langkah gue pergi ke kantor sore ini. Ketika gue sampai, baru aja gue melangkah masuk, cewek yang bertugas di bagian admin yang gue bilang gak ada alisnya itu memanggil gue.

"K-kenapa, Mbak?"

"Pak Mardo, kan?"

"Iya. Kenapa, ya?"

"Bapak sudah ditunggu Si Bos di ruangannya."

Gue kaget. Kok mendadak gini, ya?

Pintu ruangan Si Bos tertutup, namun terdengar suara di dalam. Gue mengetuk pintu, dan pintu langsung terbuka sendiri. Gue melihat dua kakek-kakek sedang berdiri di depan Si Bos yang lagi ngopi. Mereka semua menatap gue.

"Masuk, Mardo. Sudah ngopi?" tanya Si Bos.

"B-belum ... Bos,"

"Nanti ngopi, ya. Biar sehat. Perkenalkan, kedua kakek ini adalah teman saya. Mereka jauh-jauh datang ke sini hanya untuk ketemu kamu, Mardo."

Gue menyalami mereka.

"Oh, kamu Mardo, ya? Perkenalkan, saya Apran,"

"Saya Afron. Kami ini saudara kembar sampai tua,"

"I-iya ... saya Mardo ... Kek."

Si Bos berdiri dari kursinya dan mendekati gue.

"Mereka ini dulunya pernah kerja di sini waktu muda. Dan sekarang, ketika saya melihat kamu dan Sulay, membuat saya teringat dengan dua rekan kerja terbaik saat itu,"

"Oh ... begitu, ya ... Bos."

Kakek bernama Apran ini adalah seorang kakek-kakek bertubuh tinggi untuk umurnya. Kumisnya yang berwarna putih lebat menutupi bibirnya. Pakaiannya biasa aja, kayak orang tua pada umumnya. Baju batik dan celana bahan.

Saudara kembarnya, Kakek Afron bertubuh lebih pendek namun agak lebar. Kumisnya gak selebat saudara kembarnya. Perbedaan pakaian mereka adalah, Kakek Afron ini memakai baju sasirangan dan sarung. Saat ini, mereka berdua sama-sama tersenyum sambil memandangi gue.

"Jadi, Mardo ... apakah ini pedangnya?" tanya Kakek Apran.

"I-iya, Kek,"

"Mohon maaf, boleh kami uji?" tanya Kakek Afron.

Gak basa-basi, Kakek Afron menendang pedang gue dengan kekuatan sapi gila! Tentu aja pedang gue langsung melayang dan terbanting ke tembok. Sapi! Gila, nih kakek-kakek! Si Bos tertawa kecil dan kembali duduk ke kursinya. Kakek Apran secara gak natural berdiri di depan gue dan memukul muka gue! Anjir! Sakit banget! Mereka kenapa, sih!? Ingin berkata kasar jadinya, kan!

Hal yang lebih gak bisa gue percaya adalah, walau muka gue dipukul telak kayak tadi, dan gue merasa sakit banget, tapi gue masih berdiri di tempat. Si Bos dan dua kakek kembar bersorak dan tertawa. Kakek Afron mengambil pedang gue dan menyerahkannya.

"Mohon maaf, Mardo. Boleh kami uji lagi?" katanya.

Sekilas, gue melihat gerakan tendangannya. Dengan cepat gue menarik sarung pedang dan menangkis tendangan kakek itu.

"Bagus!" teriak Si Bos.

Kakek Apran mencoba memukul gue lagi. Bisa gue hindari, dan gue beri bonus pukulan balik dengan gagang pedang gue di punggungnya.

"Mantap!" teriak Si Bos lagi.

Kedua kakek kembar itu mundur sambil tersenyum puas. Gue pikir udah berakhir. Tiba-tiba Si Bos melompat dari balik mejanya sambil mencoba menghantam kepala gue. Gue menangkisnya dengan pedang gue dan kobaran api menjalar keluar dari sana. Karena hantaman pukulannya yang bisa gue bilang kayak tenaga sapi super gila, gue terpental!

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang