BAB 45: Sebuah Pohon

55 10 0
                                    

Di rumah ketika malam semakin larut, bulan pucat di atas sana seakan mengintip kami di dalam kamar. Tubuh Dea menggigil, wajahnya tampak kembali pucat seperti pertama kali ketemu. Tangannya memegangi lengan kiri gue dengan sangat erat.

"Do ... boleh nggak ... malam ini aja aku tidur di kamar kamu?"

Melihat Dea dalam keadaan begini, gue susah untuk menolak.

"Iya. Kamu boleh tidur di sini malam ini."

Gue menyelimutinya, dan setelah pegangan tangannya melonggar, gue membantunya berbaring. Berkas bersampul oranye soal misi rumah Keyla tergeletak di lantai. Gue meraihnya dan membawanya keluar kamar. Gue berpaling sebentar menatap Dea yang telah memejamkan matanya.

Informasi yang tertulis di sini hanya berupa soal rumah. Tentu itu-pun gak banyak membantu. Apa gunanya bagi gue soal informasi luas tanahnya? Ketika gue sibuk ngata-ngatain soal berkas ini pada jam 2 dini hari, sampailah gue pada sebuah informasi umum yang harusnya sangat berguna, namun terlewat begitu aja bahkan ketika gue membacanya bersama Mery.

Informasi soal siapa pemilik rumah itu. Perbincangan yang panjang dengan Rava dan Anto hanya membahas soal Keyla. Namun mustahil kalau Keyla yang membangun rumah itu. Juga gak mungkin alien turun dari bintang terus bertukang beramai-ramai mengaduk semen. Dan dari berkas yang tadinya gue anggap gak penting ini, gue mendapatkan satu nama.

Gue memandangi pedang gue yang berkilauan ketika terkena cahaya lampu. Apakah ... nama di berkas itu juga adalah nama yang sama dari orang yang memberikan pedang ini? Tsatmoko. Pak Tsat. Tesates. Apakah ... orang yang sama!? Dengan sedikitnya pengetahuan gue soal pria itu, soal kantor gue, maka pertanyaan ini gak bisa gue jawab sendiri. Gue butuh orang yang tahu persis soal kantor.

"Lo nelpon gue jam segini bukan buat ngomong kalau lo dalam masalah, kan?" kata Mery dari seberang telpon.

"Lo gak tidur?"

"Mau tidur, sih,"

"Yaudah. Nanti aja,"

"Mana bisa gue tidur kalau lo belum ngabarin gue soal misi itu. Lo baik-baik aja, kan, Do?"

"Iya. Gue udah di rumah lagi, kok. Gue mau nanya soal Pak Tsat,"

"Mau nanya soal apaan?"

"Semuanya yang lo tahu. Juga soal kantor kita. Ceritain ke gue semua yang lo tahu, Mer,"

"Bisa aja, sih. Tapi pasti makan banyak waktu. Dan gue gak mau makan waktu doang,"

"Terus?"

Mery tiba-tiba diam. Masuklah sebuah alamat dari Google Maps ke WhatsApp gue.

"Gue tunggu, ya. Dah...."

Ini alamat rumah Mery!? Dia minta gue ke rumahnya pukul 2 dini hari!?

Gue menepuk-nepuk dahi. Tahu gini, mending gue gak usah nelpon dia dan langsung ke kantin aja besok pagi. Tadi dia juga bilang kalau dia sebenarnya udah mau tidur, dan gara-gara gue malah dia berencana gak tidur! Gue harus apa ini!? Gue menatap pintu kamar gue, lalu mengirimi pesan WhatsApp pada Mery.

"Gue gak mau ganggu waktu istirahat lo. Besok aja kita ketemu. Selamat tidur."

Gue mengusap wajah, dalam hati berharap tindakan gue benar. Lalu hp gue bergetar.

"Yaudah selamat tidur. Awas mimpiin gue, ya!"

Gue membuka pintu kamar perlahan, tampak Dea udah tenang dan tidur pulas. Gue kembali menutup pintu, menggelar selimut di lantai di dekat meja makan lalu merebahkan diri. Gak lama, gue ketiduran.

Tidur selama 4 jam tanpa bantal emang gak nyaman. Gue kebangun ketika lantai terasa dingin. Gue membuka pintu kamar perlahan, tampak Dea masih tidur. Karena merasa gue gak akan kembali tidur, gue keluar rumah, berdiri di halaman sambil menenteng pedang.

Bilah bambu itu masih bersandar pada batang pohon mangga di halaman rumah gue. Embun pagi membasahi bekas goresan yang gue bikin di sana ketika latihan waktu itu. Hitung-hitung berolah raga pagi, gue menebas bilah bambu itu. Dengan sekali ayunan, bilah bambu itu terpotong. Beserta pohon mangga di belakangnya.

Pohon itu tumbang ke halaman di sebelah rumah gue! Kalau aja tadi sempat menimpa atap rumah tetangga, pasti ini akan jadi pagi yang kacau banget. Dedaunannya beterbangan ke segala arah. Buah-buahnya yang belum matang itu bergelindingan sesukanya. Gue mengusap-usap kepala, bingung harus berbuat apa. Dea berlari kecil menghampiri gue.

"Ada apa, Do!?"

"K-kamu ... m-mau mangga?"

"Hah?"

Orang-orang mulai membuka pintu rumah mereka, mencari tahu kegaduhan apa yang sedang terjadi. Melihat pohon mangga gue yang tumbang, juga ada gue di halaman rumah sambil memegangi pedang, orang-orang itu kembali masuk. Aneh juga.

"Kamu nebang pohon? Kenapa?"

"I-itu ... buah, buahnya ... gak enak. Aku mau cari b-bibit baru. Iya, itu dia."

Dea senyum sambil menatap mata gue.

"Kamu tambah kuat, Do."

Gue yang berusaha membereskan kekacauan yang terjadi, tiba-tiba dibantu oleh dua bapak-bapak baik hati yang udah lama gue kenal. Siapa lagi kalau bukan Pak Timan dan Pak Nang.

"Maaf, ya, Pak ... jadi ngerepotin pagi-pagi gini," kata gue ketika mencoba mengangkat batang pohon di tanah.

"Kapan lagi ada kegiatan gotong royong pagi hari gini, Do. Udah lama kita gak ada kegiatan," sahut Pak Timan.

"Iya, Do. Semenjak pandemi, gak ada kerja bakti lagi," kata Pak Nang yang membantu gue.

Batang pohon mangga itu berdiameter kurang lebih 3 meter. Cukup besar kalau mau dipikul sendirian. Dan tentu aja gue gak mampu. Hampir 15 menit berjuang, batang pohon itu udah kembali masuk ke halaman rumah gue. Membuat semuanya kelihatan berantakan dengan ranting-rantingnya.

"Makasih, ya, Pak. Saya bikinin kopi dulu,"

"Gak usah repot-repot, Do. Minta air putih aja kalau boleh," sahut Pak Timan.

Tiba-tiba, Dea keluar membawa 3 cangkir kopi hitam di atas nampan.

"Mari, Pak ... ngopi dulu," katanya.

"Beruntung banget kamu, Do ... punya rekan kerja yang bisa bikin kopi juga."

Gue cuma ketawa-ketawa. Setahu gue, Dea gak bisa bikin kopi!

Pak Timan dan Pak Nang meminumnya, lalu berpandangan dan ketawa. Bapak-bapak emang punya gaya humor yang agak beda. Karena penasaran, gue juga mulai meminum kopi itu. Ini ... manis banget anjir! Ini lebih mirip kecap! Dea mikirin apa, sih waktu bikin kopi ini!?

"Persis seperti kopi bikinan isteri saya, Pak," kata Pak Nang.

"Iya, isteri saya kalau bikin kopi juga begini. Udah tahu takaran gula saya."

Gue menganga lebar dengan cangkir di tangan.

"Itu berati, Do ... tanda-tanda perempuan udah siap dijadikan isteri udah kelihatan. Iya nggak, Pak Timan?" kata Pak Nang sambil ketawa-ketawa.

Gue cuma ikutan ketawa garing, lalu melirik Dea yang duduk di sebalah gue. Ketawa gue mereda ketika memandangi wajah Dea. Ada yang aneh dari wajahnya. Selama ini, Dea emang suka mengolesi bibirnya dengan lipstik merah untuk sedikit menutupi pucat di wajahnya. Dan baru kali ini, gue melihat pipinya juga memerah. Bukan karena make up apapun, tapi karena ... dia gak pucat lagi!

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang