BAB 54: Sebuah Gaji

51 5 0
                                    

Gue baru aja menyelesaikan menulis laporan terkait rumah Keyla ketika Dea meletakkan piring berisi nasi goreng di atas meja makan. Hari ini Dea memakai baju kaos berwarna merah dengan rok hitam panjang. Gue sama sekali gak tahu dari mana dia dapat baju-baju kayak gitu.

"Makan dulu baru boleh pergi. Oke, Mardo?"

Gue yang emang berprinsip gak akan menolak nasi tentu aja mengangguk.

"Eh, emang tadi malam kamu sakit apa, sih?"

Dea duduk di depan gue.

"Emm ... kata Kikuem, sih aku dimasukin angin,"

"Masuk angin, kali,"

"Ya semacam itu, lah,"

"Kok bisa, sih?"

"Ya karena kamu, lah, Do. Kita, kan terikat kontrak,"

"Oh benar juga, ya. Tadi malam bekas luka di kakiku sakit banget. Terus, tiba-tiba muncul huruf D,"

"Mana? Coba lihat."

Dea memperhatikan luka di kaki gue.

"Maaf, ya, Do. Mungkin kamu harus ngerasain sakit yang sama kayak gitu 2 kali lagi,"

"Hah?"

"Iya ... nanti muncul 2 haruf lagi. Gak tahu kapan."

Di kantor, gue memberanikan diri masih membawa pedang gue yang udah patah. Walaupun gue sebenarnya pengin banget ketemu Mery, tapi gue harus mendahulukan tugas gue untuk segera ke ruangan Si Bos. Berkas berwarna oranye itu gue pegang erat ketika mengetuk pintu.

Seperti biasa, pintu kebuka sendiri. Si Bos yang lagi duduk membelakangi gue tampak asyik menikmati secangkir kopi.

"Bagaimana, Mardo? Sudah ngopi?"

"B-belum, Bos."

Si Bos memutar kursinya, menatap gue dengan tajam kemudian tersenyum.

"Ada kabar baik?"

"I-iya, Bos. Saya baru pulang tadi malam. Saya udah menulis laporannya di sini."

Gue meletakkan berkas di atas meja.

"Jadi, apa pendapat kamu soal bangunan itu?"

"Menurut saya dan Torgol, kami berkesimpulan kalau rumah itu dikelilingi pagar gaib yang sangat kuat,"

"Apa kamu bisa masuk ke dalam?"

Gue menarik napas.

"Bisa, Bos. Kami berdua masuk ke dalam sana beberapa jam."

Si Bos mulai membuka berkas itu. Halaman-halaman depan dilewatinya begitu aja dan langsung mencari halaman baru yang udah gue isi. Kumis lebatnya bergerak-gerak saat dia membaca isi berkas itu. Di antara jeda, Si Bos meminum kopinya sebelum lanjut ke halaman berikutnya.

"Bagus, Mardo. Belum pernah ada karyawan saya yang berhasil sejauh ini untuk misi ini. Kamu bisa diandalkan,"

"Terima kasih, Bos,"

"Apa ada kendala?"

Dengan hati-hati, gue menarik pedang dan menunjukkannya.

"S-saya ... saya ... maaf, Bos ... p-pedang ini patah."

Si Bos kaget menatap pedang sahabatnya yang udah patah dua itu.

"Ya ... mau bagaimana lagi. Pedang itu memang sudah tua. Dia pasti bangga bisa berakhir di tangan orang seperti kamu, Mardo,"

"B-bos ... gak marah?"

"Marah? Kenapa saya harus marah? Kamu berhasil pulang selamat dari misi ini saja sudah merupakan keajaiban buat saya. Apalagi kamu pulang dengan membawa informasi baru. Itu sebuah pencapaian besar, Mardo. Mungkin itu harga yang layak dibayar dengan patahnya sebuah pedang tua."

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang