Satu jam setelah berkumpulnya kami di dalam sel ini, seusai Sulay menjabarkan seluruh rencananya yang semoga aja berhasil itu, maka yang harus kami lakukan sebagai pertanda dimulainya rencana kabur dari sel tahanan adalah menunggu suara teriakan Dea.
Bersamaan dengan teriakan Dea itu, kami bertiga juga teriak-teriak minta tolong dengan panik. Jadi rencana Sulay begini: Dea akan pura-pura sakit dan kami menunggu ada penjaga yang datang. Dengan akting yang bagus, kami berharap penjaga percaya dan mengeluarkan Dea dari sel. Nah, saat itulah kami semua berlarian keluar.
Kami bertiga iya iya aja dengan rencana barusan. Emang gak kedengaran meyakinkan, sih ... tapi gak ada salahnya buat dicoba. Lagian, waktu gue juga ngusulin rencana, semuanya langsung kompak bilang gak mau. Padahal rencana gue lebih bagus.
Rencana gue begini: gue dan Sulay akan pura-pura berantem dan saling menyalahkan sampai-sampai Mbah Kusno dan Dea nangis karena depresi. Dan ketika penjaga datang buat nyuruh kami diam, maka saat itulah kami semua pura-pura kesurupan Mak Lampir. Gimana? Keren, kan?
"Tolong! Tolong! Ada yang sakit! Tolong!" teriak gue.
"Help! Help! Ada yang sick!" Sulay ikutan teriak.
"Siapa saja! Tolong!" sahut Mbah Kusno.
Dea masih pura-pura teriak kesakitan. Akting Dea bagus juga ternyata. Coba aja Sulay yang menggantikan peran Dea. Jangankan nolongin, orang yang mendengar teriakannya pasti lebih memilih buat gali sumur.
Karena kehebohan yang terjadi, akhirnya datanglah seorang Heshita dengan pentungan di tangannya. Di balik topengnya, dia berdiri menatap kami dari balik jeruji besi. Dia memukulkan pentungan dengan keras! Setelah kami terdiam, dia mengangkat jari telunjuknya ke depan bibir sebagai peringatan biar kami diam.
"Pak! Tolong! Dia sakit!" kata gue.
Dea masih merintih kesakitan ketika pria itu menatapnya dengan dingin.
"Tolong!" ucap Mbah Kusno.
Ternyata, dia segera berpaling dan mengabaikan kami. Nah ... mungkin inilah saatnya buat gue beraksi! Gue segera menggenggam erat jeruji besi, memonyongkan bibir, dan juga membungkukkan badan. Dengan percaya diri, gue segera menyamar menjadi Mak Lampir. Gila! Gue berbakat banget!
"Buka! Bukakan penjara ini!" kata gue dengan suara serak.
Diluar nalar! Heshita tadi berpaling dan dengan cepat menghampiri gue!
"Buka! Saya ini ibumu!" kata gue dengan mata melotot.
Karena gue ini jenius dan berbakat, tentu aja rencana gue berhasil. Dia langsung bukain sel buat gue.
"Sikat, Pak!" kata gue pada Sulay.
Sulay menyundul wajah bertopengnya dengan keras. Mbah Kusno yang punya pengetahuan soal cara melepaskan ikatan tali aneh ini segera bergerak cepat memutari punggung Heshita itu. Ternyata, di pinggang belakangnya terdapat sebuah pisau kecil.
Mbah Kusno menariknya dengan mulutnya dan dengan cepat memotong tali itu dari tangannya. Dia langsung memotong semua tali kami bergantian. Dan ketika Heshita itu mulai berhasil menahan sundulan Sulay yang ke sekian kalinya, dia langsung memakai pentungannya buat mukul perut Sulay!
Sulay tampak kesakitan. Dia memegangi perutnya sebentar, lalu membalas memukul topeng pria itu dengan sangat keras. Dan ... seperti yang gue percaya, Sulay bisa menghancurkan topeng aneh itu. Heshita itu terpental membentur dinding dengan topeng berantakan.
Gue, Dea dan Mbah Kusno teriak kaget ketika melihat wajah pria itu! Dia punya dua bolah mata berwarna merah, mulut menganga tanpa bibir, dan dia gak punya hidung! Serem banget! Karena saking kuatnya pukulan Sulay, kayaknya dia pingsan seketika. Gak buang waktu, kami langsung kabur nyari jalan keluar.
"Lewat mana, Pak!?" tanya gue.
"Lari aja dulu! Gue juga gak tahu!" sahut Sulay.
"Lewat sini!" kata Mbah Kusno, memimpin jalan.
Takut Dea kenapa-kenapa lagi, gue menggenggam tangannya sambil berlarian. Jujur aja, karena berat batu yang gue bawa di dalam tas, gue jadi gampang capek. Karena lari gue yang melambat, gue sama Dea kepisah dari Sulay dan Mbah Kusno! Gawat banget!
"Ayo, Do!" kata Dea.
"Oke! Oke! K-kita di mana!?"
Kami berdua ada di sebuah persimpangan koridor panjang yang gelap. Seingat gue, tadi kayaknya mereka berdua belok kiri, deh.
"Oke! Kiri!" kata gue sambil terus berlari.
Sulay dan Mbah Kusno larinya cepat banget! Gue gak bisa temuin mereka. Oh, iya! Gimana kalau gue gunain sihir biru dan merah muda buat nyari mereka? Iya, juga! Gue, kan udah belajar!
"Dea! Dea! Berhenti dulu!"
"Kenapa, Do?"
Gue memejamkan mata, mencoba merasakan hawa sekeliling. Gue ngerasain hawa panas beberapa meter di depan gue. Hawa panas itu kayak ... hidup dan mendekat. Lalu, gue merasakan getaran langkah kaki dari belakang. Langkah itu menjauh, dan kayaknya itu mereka!
"Aduh! Maaf, Dea! Kita salah jalan!"
"Hah!? Salah jalan!? Terus gimana!?"
Terdengar suara pekikan kencang banget dari arah depan! Feeling gue langsung gak enak. Bukan satu suara pekikan doang, tapi banyak suara pekikan bersahutan! Dengan gak sengaja, sihir merah muda gue aktif sendiri dan bikin gue ngelihat sosok apa yang bersuara kayak gitu!
"Do! Do! kamu kenapa!? Ada apa, Do!?
"M-monyet ... L-lari! Lari, Dea!"
Gue langsung menarik Dea dan berlari ke persimpangan yang sebelumnya. Gue masih ngerasain langkah kaki Sulay dan Mbah Kusno yang terus mengecil, pertanda mereka udah sangat jauh! Sialan Si Sulay! Apa dia gak sadar gue sama Dea gak ada di belakangnya!?
Suara-suara mengerikan dari belakang gue terasa udah semakin dekat. Gue dan Dea memberanikan diri buat nengok sekilas, dan ternyata benar! Segerombolan monyet berbulu hitam dengan mata kuning menyala berlari ngejar kami! Kalau ukurannya kayak monyet atraksi, sih mungkin gue masih gak merinding. Lha ini ... seukuran sapi kurban!
"Itu bukan monyet, Do! Itu gorila!"
"LARI....!"
Mungkin karena saking takutnya gue, Sulay dan Mbah Kusno mulai kelihatan di depan! Semakin dekat juga monyet-monyet itu di belakang gue! Karena gue sama Dea teriak-teriak, Sulay dan Mbah Kusno menoleh. Lalu, juga ikutan teriak!
"Itu apaan, Do!? Kenapa lo bawa ke sini!?" kata Sulay.
"LARI, PAK....!"
Mbah Kusno menoleh kiri-kanan, seakan mencari jalan.
"Ini! dobrak dinding ini!" kata beliau.
Dengan cepat Sulay meninju dinding itu.
"Cepat! Ini jalan pintas ke tempat yang aman!"
Karena saking kokohnya dinding itu, Sulay kayaknya butuh waktu lebih. Sementara itu, para monyet itu udah kelihatan mau nabrak kami. Untungnya Sulay berhasil tepat waktu. Hal ajaib terjadi. Ternyata, dinding yang kami jebol berisi persenjataan yang kayaknya gak dipakai. Ngelihat ada pedang, gue segera meraihnya. Lalu, gue mendorong Dea agar masuk duluan.
"Lari! Cepetan!" kata gue.
Sulay menarik lengan Dea yang berusaha kembali ke tempat gue. Gue gak berencana berantem sama monyet, gue cuma mau kabur tanpa rasa takut. Pedang yang gue ambil adalah pedang berat dan berkarat! Gue gak yakin bisa menebas satu-pun dari monyet-monyet itu.
"Oke, monyet! Maju lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mardo & Kuntilanaknya
Fantasy#1 PARANORMAL (15 JANUARI 2024) #1 KUNTILANAK (1 MEI 2024) #2 GHAIB (20 JULI 2024) #4 HUMOR (1 MARET 2024) Bersama Dea rekan gaibnya, Mardo yang tadinya hobi mancing sekarang harus mancing makhluk gaib untuk sebuah pekerjaan. Pekerjaan macam apa yan...