BAB 68: Cerita Sekolah itu

63 6 0
                                    

"Akhirnya! Sekarang gimana?" kata gue.

"Gak ada waktu buat santai-santai lagi. Kita langsung cari orang bernama Nirana itu," sahut Sulay.

"Gimana, Dea?"

"Yuk!"

Hari udah semakin malam dan gue semakin berasa capeknya setelah tadi kejar-kejaran di penjara. Dea yang juga kelihatan capek cuma menyandarkan kepalanya di bahu gue sambil menatap keluar jendela tanpa ngomong apa-apa.

Di perjalanan menuju mobil tadi, Sulay bilang kalau dia mungkin tahu siapa Nirana yang dimaksud Mbah Kusno. Dan dengan kepercayaan itu, Sulay membawa mobil ke sebuah kota yang gue gak tahu di mana. Mbah Kusno ini orangnya penuh teka-teki. Coba aja beliau bilang alamat rumah orang itu, pasti kami gak main tebak-tebakan kayak sekarang.

Atau kalau gak ngasih alamat rumah, minimal kasih kami foto orang bernama Nirana itu biar gampang. Orang tua emang suka bercanda. Dan beberapa jam di perjalananan menembus malam, gue yang hampir-hampir ikutan ketiduran kayak Dea tiba-tiba mendapat WhatsApp dari Mery.

"Lagi di mana, Do?"

Tanpa menggeser kepala Dea yang tidur di bahu gue, gue langsung membalas pesan itu.

"Di jalan. Akhirnya kami nemu orang yang bisa bikinin gue pedang."

Dea tiba-tiba kebangun.

"Jam berapa, Do? kita di mana?"

Sulay, dari spion di atas kepalanya menatap kami dan menjawab pertanyaan Dea.

"Jam 3. Kita lagi menuju SD gue dulu."

"Lo gak capek, Pak? Mending kita berhenti dulu,"

"Lo berdua istirahat aja mumpung ada waktu. Gue udah biasa jalan jauh kayak gini."

Gue bukan orang yang mengabaikan kesempatan. Tentu aja gue langsung ketiduran setelah Sulay ngomong begitu. Ketika udara terasa semakin dingin, sayup gue mendengar suara gemerisik yang mengganggu. Disusul pula suara seseorang yang lagi ngomong di pagi buta.

Gue terbangun dan mendapati Sulay yang sedang mengotak-atik radio mobil. Pantesan ada suara-suara berisik. Ada-ada aja sopir negeri Konoha itu. Ngapain juga nyalain radio di perjalanan menuju matahari terbit.

"Ada apa, Pak?"

Sulay gak menjawab gue. Dia masih sibuk mencari frekuensi radio sambil memperhatikan jalan.

"Masih jauh, ya, Pak?"

"Bentar lagi sampai, kok."

Di samping, seseorang dengan kepala tersandar di bahu gue yang baru kali ini bisa gue tatap dari jarak sedekat ini, tampak tertidur pulas. Gue gak pernah menyadari kalau Dea punya wajah secantik itu. Dan sambil ketawa-ketawa sendiri, gue mencubit pipinya.

Kalau aja gue bisa memfoto ekspresi wajah Sulay dari spion di atas kepalanya, pasti foto itu akan jadi foto paling kocak di hp gue. Sulay geleng-geleng kepala melihat gue mencubit pipit Dea. Gak lama, kelopak mata Dea berdenyut dan dia terbangun.

"Kita di mana, Do?"

"Kita masih di mobil. Kamu tidur aja."

Dea membenarkan posisi duduknya sambil menyisir poninya yang tadi berantakan. Dari spion, lagi-lagi Sulay mengeluarkan ekspresi kocak. Dengan langit yang mulai cerah, mobil melambat dan kami berhenti di depan sebuah SD yang pagarnya masih tertutup. Sulay menoleh ke arah kami, mengisyaratkan kalau kami udah sampai.

"Kita di mana ini, Pak?"

"Gue dulu sekolah di sini bareng sama Nirana itu,"

"Sekarang apa?" tanya Dea.

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang