Tre

337 45 1
                                    

"Lo itu punya rasa kemanusiaan apa nggak sih, Sat? Susah amat diajak kerjasamanya!"—Alvaro Ganesha Tristanio

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo itu punya rasa kemanusiaan apa nggak sih, Sat? Susah amat diajak kerjasamanya!"—Alvaro Ganesha Tristanio.

"Jadi untuk pertemuan minggu depan, saya akan mengadakan kuis tentang materi yang saya sampaikan hari ini."

SATYA SAMUDERA menutup marker yang tadi digunakannya untuk menulis bagan di whiteboard.

"Masing-masing dari kalian akan saya bagi menjadi beberapa kelompok. Dan masing-masing kelompok, wajib melakukan presentasi dengan judul yang akan saya bagikan setelah ini. Ada pertanyaan?"

Tak ada jawaban dari mahasiwa pun mahasiswi yang sudah menampakkan wajah lelahnya. Termasuk Alvaro yang sudah terkantuk-kantuk sejak dua puluh menit pertama sang dosen menyampaikan kuliah mengenai digital bussines yang membosankan itu. Makanya, begitu Satya kembali ke mejanya dan mulai merapikan diktatnya, Alvaro langsung sigap mengemasi alat tulisnya seperti yang dilakukan teman-temannya. Begitu sang dosen usai menyerahkan form judul presentasi pada ketua kelas dan mulai melenggang keluar dari ruangan, pemuda itu langsung bangkit dan membuntuti langkahnya.

"Perlu bantuan buat bawain bukunya, Pak?" tawar Alvaro mencoba menyejajarkan langkahnya dengan langkah Satya. "Kalau nggak keberatan, saya bisa bantuin buat bawa ke ruangan Bapak."

Seperti yang sudah Alvaro duga, Satya mengabaikan tawarannya. Sang dosen terus melangkah seolah ia adalah nyamuk yang berdengung-dengung di samping telinganya.

Namun berhubung ada sesuatu yang harus dia lakukan, Alvaro memilih menyodorkan tangan hingga tumpukan buku tebal dalam gendongan Satya berpindah ke tangannya.

"Saya tahu ini berat, Pak, jadi nggak usah sungkan-sungkan buat minta tolong sama saya," kata Alvaro sembari terus melajukan langkah tanpa memedulikan ekspresi kesal yang mendadak muncul dari wajah Satya.

"Jika kamu beranggapan bahwa dengan membujuk saya bisa memperbaiki nilai semester kamu, maka saya sarankan kamu untuk berhenti," jawab Satya yang meskipun kesal, tetap melangkahkan kaki mengikuti Alvaro yang berjalan di sampingnya.

"Oh, Bapak tenang saja, saya nggak ada niatan untuk itu, kok," ucap Alvaro dengan senyum palsu yang dia buat semanis mungkin. "Belakangan saya jadi berfikir bahwa apa yang Bapak katakan tempo lalu ada benarnya. Makanya saya sedang berusaha memperbaiki diri."

Tentu saja, tak ada respons lain dari Satya selain dengusan kaku usai jawaban tak terduga dari mahasiswanya tersebut. Tadinya, Satya ingin tetap menolak bantuan yang diulurkan Alvaro. Namun kemudian dia sadar, bahwa penolakan hanya akan membuat mahasiswa sableng itu semakin memaksa. Dan dia ogah jika harus mendengar rengekan pemuda itu seperti yang sudah-sudah.

Maka untuk lima menit berikutnya, Satya memilih membiarkan pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya itu mengayunkan kaki di sampingnya. Dari tempatnya berdiri, Satya sempat beberapa kali menangkap siluet wajah Alvaro yang nampak indah dibiasi cahaya mentari sore. Dalam alasan yang tak pernah dimengertinya, jantungnya kembali berdebum kencang setiap melihat rahang tegas milik mahasiswanya itu.

CHASING THE PROFESSORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang