Bab 7: Rumah Raga

90 23 39
                                    

Jingga, warna bibir Hening sekarang. Eye shadow hampir senada dengan perona pipi merah jambu menghiasi rupa. Bulu mata tebal juga alis yang dibuat sempurna menambahkan kesan ramai pada wajahnya. Semua itu kontras dengan rambutnya yang ditata sederhana, hanya dikucir rendah dengan rapi dan rok panjang sebetis warna cokelat muda yang ditali pita ke belakang.

"Kenapa, Mas? Ayo," tukas Hening kepada Raga yang masih bergeming sambil menatapnya keheranan, ia balik menatap bingung pria di hadapannya.

Mereka akan segera berangkat ke rumah Raga, keduanya masih bergeming di depan rumah Hening. Lebih tepatnya, Raga dengan sabar menunggu gadis itu berdandan sedari tadi.

Ibu jari Raga bergerak cepat menyeka lipstick yang Hening kenakan. Gadis itu pun terlonjak dan memundurkan kepalanya, sambil menjauhkan jemari Raga, ekspresinya penuh kekesalan.

"Ngapain sih?" Hening buru-buru mengambil cermin kecil di dalam tas.

"Agak kecewa saya menunggu selama 2 jam, kamu mau bertamu ke rumah orang atau mau jadi badut?" Tanya Raga sambil mengeluarkan sapu tangannya untuk mengelap ibu jari. "Menor betul dandananmu, ketebalan, mending hapus saja."

"Ketebalan ya? Duh, saya grogi habisnya," tutur Hening sambil menghapus lipstick menggunakan tisu yang ia bawa.

"Tikus bahkan bisa takut kalau lihat kamu." Raga terkekeh sambil berbalik dan berjalan cepat ke arah mobil. "Bersihkan di dalam mobil saja ayo, padahal kamu tanpa riasan juga sudah terlihat cantik."

"Gombal," tutur Hening nyaris bergumam lalu mengikuti Raga untuk masuk ke dalam mobil.

***

Kesan pertama yang dapat Hening lontarkan saat melihat rumah tinggal Raga adalah, sederhana, tapi sangat elegan. Rumah pria itu berada di daerah Kemang. Dari depan, rumahnya terlihat tidak terlalu besar, tapi halamannya sangat luas. Berisi rumput hijau di sisi kiri dan kanan, ada spot taman kecil dengan air mancur di tengahnya, sejauh mata memandang berbagai bunga warna-warni yang cantik mengihasi setiap sudutnya, memberikan kesan segar dan hidup, terlihat sangat terawat dengan baik. Pohon rindang menjulang membuat suasana di sekitar menjadi sejuk. Cat rumah berwarna putih kalem menonjolkan sisi elegan itu sendiri.

"Mau bengong sampai kapan, Ning?" tegur Raga seraya melepas jas hitamnya dan berjalan mendahului gadis yang baru saja keluar dari mobil.

Hening pun mengekor pada Raga sambil membasahi bibirnya yang kering dengan lidah. Tempat tinggal mereka bagaikan bumi dan langit, Hening sampai lupa jika Raga adalah pria mapan, mengingat dia sering main ke rumah Hening tanpa merasa malu atau pun memperlihatkan sikap tidak berkenan.

Saat masuk ke dalam, Hening baru menyadari jika rumah itu dibangun dengan gaya Belanda. Jendela dan pintu yang lebar serta langit-langit di sana sangat tinggi, juga beberapa tiang yang kokoh. Berbagai lukisan turut menghiasi dinding; lukisan di era kolonial, sampai pemandangan dan buah-buahan, indah sekali.

"Duduk dulu," titah Raga.

Hening menurut dan duduk dengan berhati-hati di salah satu sofa empuk berwarna hitam, takut-takut jika tidak sengaja menggores. Raga sempat menghilang, masuk ke salah satu ruangan. Penataan sekat di sana pun tampak rapi, dan terkesan luas juga nyaman. Tidak lama, Raga kembali dan duduk bersebelahan dengan Hening.

"Sepi banget, saudara Mas di mana? Jangan bilang Mas tinggal sendiri?" Hening memperhatikan sekitar lalu kembali menatap Raga. Untuk rumah sebesar itu sepertinya terlalu mengerikan jika hanya dihuni oleh satu orang saja.

"Memang kenapa kalau tinggal sendiri? Saya anak tunggal," jawab Raga.

Hening pun baru ingat soal itu, Raga pernah menjawab pertanyaan Sayani saat di rumahnya. "Ya ampun, saya lupa." Ia terlihat lega sambil melemaskan tubuh.

MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang