Kamis, 12 Maret 2020
Jasad Papa baru saja ditimbun.
Ya, dikubur dalam tanah setelah berhadapan dengan sakaratul maut hampir setengah hari lamanya. Papa menghadapi kematian hanya berdua dengan Mama. Sedangkan kami anak-anaknya tengah berada di lain tempat. Meskipun tinggal di kota yang sama, perlu waktu bagi kami untuk mencapai rumah Papa ketika itu. Kecuali adikku yang bernaa Leona, ia dan suaminya memang tinggal di ibu kota propinsi. Sehingga perlu waktu yang lebih lama untuk sampai ke rumah Papa.
Aku sendiri berada di kampus ketika itu. Rebahan di sajadah masjid usai mengajar. Telpon dari Bang Dafa bagaikan suara petir di siang bolong. Aku mana bisa percaya kalau Papa meninggal dunia. Satu hari sebelumnya, ia baru saja melangsungkan akad nikah untuk rujuk dengan Mama setelah puluhan tahun berpisah karena bercerai. Usai acara di KUA Kecamatan, kami makan soto bersama di satu warung. Papa masih bugar walaupun jalannya tertatih-tatih. Kami anak-anaknya hadir dalam acara itu kecuali Leona yang memang tinggal di luar kota.
Belum ada satu pun baju dan barang-barang Papa yang diangkut pindah ke rumah kami. Rumah yang kami tempati di sisi lain kota. Mama hanya merasakan tidur satu malam saja dengan Papa, setelah puluhan tahun hidup terpisah pasca bercerai di tahun 1995.
Di perjalanan menuju rumah Papa, aku tak henti menanyakan tentang kesadaran diriku sendiri. Apa benar ini terjadi? Dan apa ini bukan mimpi? Namun, saat tiba di depan gang masuk ke rumahnya, bendera putih sebagai tanda musibah kematian telah ditegakkan oleh warga. Kala mendekat ke pintu rumah, sesaat hendak masuk, aku melihat Papa yang sedang terbujur kaku. Jasadnya menghadap tepat ke arahku datang. Wajahnya pucat, tapi benar-benar bersih.
Disongsong pemandangan itu, aku mendadak runtuh kehilangan tenaga. Kemarahan yang menyala-nyala di dalam hatiku selama 25 tahun, karena Papa tega meninggalkan kami dulunya, mendadak lenyap seketika. Lututku lemas. Kemarahan yang tersimpan dalam hati selama bertahun-tahun, padam seketika.
Aku kuatkan diriku sendiri. Kulihat Mama menggigit gerahamnya kuat-kuat. Tidak berusaha menangis kendati air mata membanjir di pelupuk matanya.
Setelah Papa dimakamkan. Malamnya aku hampir tidak bisa tidur. Pikiranku berkecamuk dan digoncang satu pertanyaan:
Sedang apa dirinya saat ini di alam sana?
Apakah ia selamat di malam pertamanya?
Malam itu aku habiskan berdo'a sampai tertidur.
Sabtu, 14 Maret 2020
Aku dan Mama sedang beres-beres di rumah Papa. Semua barang yang ada di sana akan diangkut ke rumah kami dan rumah itu sendiri akan dijual. Pembelinya sudah ada. Ketika sedang merapikan kamar tidur, ada setumpuk kalender tua yang disusun rapi. Bagian belakangnya penuh dengan tulisan tangan yang besar-besar. Itu tulisan Papa.
Aku mahfum karena sebelum meninggal, mata Papa memang sulit untuk melihat karena sempat terkena katarak. Sehingga kalau menulis harus dengan huruf yang ukurannya besar-besar. Dalam keadaannya yang hampir tidak punya apa-apa, ia memanfaatkan apa saja yang bisa dijadikan sebagai tempat untuk menulis. Termasuk kalender bekas. Entah menulis daftar titipan belanja, atau daftar utang-utangnya di warung dan berbagai catatan lainnya terkait semua kebutuhannya.
Aku baca tulisan itu pelan-pelan dan aku pilah sesuai dengan jenis isi tulisannya agar tidak bercampur baur dan semrawut. Sampai akhirnya ada setumpuk kalender tua yang lebih rapi. Aku baca tulisan di atasnya, tulisan Papa yang sangat khas dengan gaya miring bertali. Kali ini isinya lebih mirip seperti surat.
Begini isinya:
Untuk anak-anak Papa dan Mama,
Di bumi mana pun kalian berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT DARI PAPA
FanfictionSebelum meninggal, Papa ternyata menuliskan surat untuk kami anak-anaknya. Surat itu baru ditemukan setelah dua hari kematiannya. Di dalam surat tersebut, Papa menuliskan semua perasaan, penyesalan dan harapannya tentang kami dengan huruf yang besar...