London, 12 July 2050 pukul dua dini hari...
Halilintar menatap Taufan yang tidur pulas di sampingnya. Perlahan dan hati-hati lengan Taufan yang melingkar di perut berototnya dia lepas agar Kekasihnya ini tidak terbangun.
Begitu lepas, dia turun dari kasur, lalu memperbaiki selimut Taufan yang tersingkap memperlihatkan tubuh polos tanpa sehelai benang apapun.
Lemari pakaian dibuka. Jaket hitam legam dan celana jeans levis dengan warna senada dia ambil untuk dikenakan.
Satu kecupan manis dia sematkan dengan pelan di dahi Taufan sebelum melangkah keluar kamar. Sejenak wajah imut kekasihnya itu dia pandang sebelum akhirnya pintu tertutup.
Ruang tamu rumah besar nan megah ini tampak sepi juga gelap saat Halilintar tiba di sana. Ice dan Thorn ada di kamar masing-masing. Tentunya mereka masih tidur di jam sedini ini.
"Ekhem-!"
Tangan Halilintar yang baru saja hendak membuka kunci pintu rumah langsung terhenti.
-Tak!
Lampu menyala membuat seisi ruang tamu terang benderang.
Halilintar menelan salivanya. Lalu berbalik perlahan-lahan. Netra merah darahnya menangkap sosok Taufan di dekat saklar lampu sembari bersedekap dada.
Kekasihnya itu hanya mengenakan kemeja kuliah miliknya berwarna putih. Kemeja itu kebesaran di badan Taufan yang mungil hingga memberikannya kesan imut sekaligus sexy.
Karena hanya mengenakan kemeja yang bahkan tiga kancing di atasnya terbuka, paha mulus hingga kaki jenjang Taufan terekspos sempurna. Untungnya panjang kemeja itu dapat menutupi area intim Taufan.
"Mau keluar diam-diam lagi huh?" tanya Taufan, menekankan kata 'lagi' karena memang ini bukan yang pertama kalinya sejak mereka tinggal di London.
Sudah terbilang lima tahun mereka menetap di sana. Sejak baru menginjakkan kaki di kelas sebelas hingga sekarang menjalani tiga tahun mereka kuliah.
Saat masih awal-awal menempati rumah baru di London, hampir tidak terhitung Halilintar diam-diam mencoba pergi tanpa sepengetahuan Taufan, Ice dan Thorn untuk menuntaskan hasrat pyscopath haus darah-nya.
Mereka bertiga sampai kerepotan mengurus Halilintar. Untungnya setelah menjalani pengobatan bertahap beberapa tahun terakhir, kebiasaan Halilintar yang tidak baik itu kian berkurang.
Sekarang, dalam sebulan sudah dapat dihitung berapa kali Halilintar mencoba untuk pergi. Taufan sendiri yang memantau langsung perkembangan kesembuhan Halilintar.
Hasrat haus darah dan hasrat membunuh yang selama ini menguasai setengah alam bawah sadar Halilintar, perlahan mulai menghilang. Dia juga sudah bisa mengendalikan diri agar tidak terlalu emosional, apalagi dalam hal yang tidak baik. Cemburu buta misalnya.
Halilintar terkekeh canggung sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kakinya melangkah membawanya menghampiri sang kekasih.
Tampang dan tatapan Taufan yang mengintimidasi bagi Halilintar sangat lucu. Seperti istri yang sedang menatap galak sang suami karena ingin keluar malam-malam.
"Ufan, kamu sexy banget." Halilintar menatap Taufan dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan tatapan mesum disertai seringai mesum pula. "Jadi pengen anu-in kamu lagi."
Taufan memutar bola matanya, malas. "Gak usah ngalihin topik, kamu. Basi!" ketusnya.
"Tadi mau kemana hah?! Nyari cewek?! jal*ng?! Banci?! Okey! Pergi sana! Pergi yang jauh sekalian! Terus, gak usah cari aku lagi!!" Taufan berbalik, lalu berjalan menuju tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pyscopath (End)
FanfictionSakit?? Hmm ya sakit itu yg di rasakan oleh pemuda yg memiliki netra merah ketika dia mencintai seseorang akan tetapi orang itu malah mencintai orang lain. Kerena itulah membuatnya gelap mata akan mencari mangsa untuk di bunuh atau disiksa sebagai p...