Part 24 ㅡ Membebat Nelangsa

278 19 1
                                    

Kosan Yoyo
"Gimana?" Tanya Reno.
Nico hanya menjawab dengan celengan lemah. "Makanannya semalam pun gak disentuh."

Nico baru saja keluar dari kamar kos Yoyo. Sudah lebih enam bulan sejak pemakaman Ilham. Ia masih terus mengurung diri di kamar. Ia tak kan makan jika para kawan tak rutin bergantian membawakannya makan setiap hari. Ia masih belum juga mau ke kampus, Nico dan yang lainnya sudah kehabisan akal untuk membujuknya.

Setelah terdiam sebentar, Reno akhirnya menyalakan motor. Mereka tak bisa seharian berada disana, masih banyak yang harus mereka urus perihal sidang skripsi masing-masing.

Tepat saat motor siap berbelok di ujung lorong, kedua melihat sebuah motor tua yang mereka kenali melintas menuju arah berlawanan. Sosok pengendaranya menggunakan jaket kulit warna hitam dengan helm full face yang juga amat mereka kenali. Reno menghentikan laju motornya.

"Kamu lihat?" Tanya Reno.

"Iya. Itu mungkin Kang Dikha." Ujar Nico setelah beberapa saat. "Kamu ngasih tau bunda?"

"Gak lah. Yang lain juga sepakat begitu. Tapi entahlah. Hmm, semoga aja Kang Dikha bisa bantu." Ujar Reno seraya kembali menyalakan motornya. Nico mengangguk pelan.

*

Kampus tak pernah sama lagi semenjak kepergian Ilham. Padahal seharusnya semua akan terjalani dengan menyenangkan, mengurus skripsi dan segala macam persiapan dalam menuntaskan masa studi mereka.

Nico dan Reno baru saja menyelesaikan sidang akhir mereka, resmi bergelar sarjana. Kini tengah mengurus berkas-berkas untuk yudisium dan persiapan wisuda, Netha, Marco dan Andra akan menghadapi sidang mereka dalam beberapa hari dari sekarang. Meski untuk Netha harus di lakukannya secara daring mengingat kini ia juga tengah terikat kontrak dengan agensinya di Paris. Beruntung para dosen sangat mensupportnya. William juga telah menuntaskan studi, bersama Nico dan Reno mengurus persiapan wisuda.

Luka jelas masih tetap ada, tapi hidup harus terus berjalan. Hari ini giliran Netha untuk sidang akhir, dari semalam Nico dan kawan-kawannya yang lain ikut mempersiapkannya segala keperluannya, dari sederet berkas-berkas hingga makanan dan bingkisan untuk para dosen dan pegawai yang membantu pengurusan. Birokrasi tak berfaedah yang sudah membudaya sejak kampus itu didirikan. Sebenarnya bisa saja dilaporkan sebagai praktek pungli yang mempersulit, tapi Netha berikut kawan-kawannya yang lain memilih mengikuti saja semuanya selagi masih bisa tersanggupi dan benar-benar membantu melancarkan segalanya. Lagipula, takkan ada kisah-kisah yang cukup berkesan jika tak melalui proses itu.

"Guys, makasih banget yah. Gak tau deh jadi apa aku kalau gak ada kalian." Ujar Netha haru lewat sambungan video call melalui ponsel Fanny.

Di dalam ruang sidang, Fanny, Nico dan Andra sedang menyusun buah-buahan untuk dibuat parsel. Reno sedang menyetel LCD dan laptop untuk persiapan presentasi. Marco sedang meninabobokan Javier junior yang baru saja selesai disusui. Kurang dari satu jam lagi para dosen akan mulai berdatangan.

"Just focus on your notes, babe. We are here for you." Ujar Fanny.
"Nangis lagi. Maskara luntur nanti heboh lagi. Udah, fokus aja sama materi lo. By the way ini gak gratis yah. Parfum gue, jangan sampe lupa."
"Sinting ih, lo yang fokus bagi pisangnya! Jadi berantakan gini!" Nico meringis kesakitan dicubit Fanny.
Netha tertawa di ujung talian. "Yakin cuma mau parfum?Aku rencananya mau bawain kamu sepatu LV sih."
Mendengar itu mata Nico langsung membulat, lalu memandang kearah layar dengan haru. "I love you, Netha. Hehe."
"Haha, jangan ngomong love deh. Itu laki lo di belakang melotot tuh."
"Ah, dia mah ke laut aja." Cetus Nico, segera berhadiahkan jitakan dari sang kekasih.
"Adaw!"

Netha terbahak dari layar, ia kemudian terlihat kembali melanjutkan menyusun catatan-catatan kecil yang akan ia gunakan dalam presentasi menggunakan sticky notes.

I Think I Love You, Buddy (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang