12

7.3K 991 39
                                    

by sirhayani

part of zhkansas

...

"Wah, makanan yang Tiara buat jadi kayak muka orang."

Bibi menatap bekal yang aku buat. Aku memang membuat bekal untuk Kaisar demi bisa mendekatinya di sekolah. Tak mungkin Kaisar tiba-tiba memasuki dapur. Jadi, aku dengan bebas melakukan apa pun di sini tanpa khawatir kejutan yang akan aku berikan pada Kaisar akan ketahuan olehnya.

"Buat pacar Tiara, ya?" tanya Bibi lagi. Aku hanya bisa cengengesan tak jelas. "Pasti pacar Tiara ganteng."

Bingung harus menjawab apa, perhatianku tetap fokus mengatur letak makanan. Potongan wortel menjadi mata di atas telur dadar dan tomat yang aku iris berbentuk bulan sabit sebagai mulut. Ini sih porsi bayi. Tak mungkin Kaisar akan kenyang. Makanya aku memakai bekal dua tingkat. Makanan yang aku hias itu ada di tingkat paling atas sementara di tingkat bawah masih ada makanan dengan porsi yang lebih banyak. Aku juga menggoreng beberapa potong nugget.

"Bibi jadi penasaran cowok mana yang jadi pacar Tiara," kata Bibi, senyum di wajahnya tak pernah lepas.

Aduh! Aku jadi bingung harus menjelaskan semuanya dari mana.

"Tiaraaa? Nggak makan? Nanti telat, loh!" teriak Mama dari ruang makan.

"Bentar, Ma!" Aku buru-buru menutup bekal dan menyelimuti bekal bertingkat ini dengan kain. Kumasukkan bekal yang sudah terikat kain itu ke dalam tas bekal, lalu tas bekal itu kumasukkan lagi ke dalam tas sekolahku dengan hati-hati.

"Biii, maksih ya udah bantuin!" seruku sambil menjauh. Bibi mengangguk, lalu aku berlari keluar dari dapur sampai Bibi berteriak menyuruhku untuk hati-hati.

Setibanya di ruang makan, aku langsung duduk di kursi yang biasa aku duduki. Kursi yang berhadapan langsung dengan Kaisar. Kaisar memandangku dan aku langsung melemparkan senyum paling ceria yang aku punya.

"Pagi, Kak Kaisar!"

Dia tak menjawab dan melanjutkan sarapannya. Aku juga segera makan dengan lahap. Meja ini sepi jika tak ada Papa. Wajar Papa jarang di rumah karena Papa adalah orang sibuk. Papa adalah penghubung di antara aku, Mama, dan juga Kaisar. Kaisar dulunya mulai agak luluh pada Mama karena Mama benar-benar memperlakukan Kaisar seperti anak kandungnya sendiri. Aku bisa merasakan ketulusan Mama karena aku juga bukanlah anak kandung Mama dan Mama membesarkanku dengan sangat baik.

Semenjak SMP, Kaisar mulai cuek lagi pada Mama dan beberapa kali aku melihat Kaisar tak mau mendengar perkataan Mama jika Kaisar melakukan sebuah kesalahan. Mama bilang, wajar Kaisar seperti itu karena sedang dalam masa pencarian jati diri.

Kaisar mengambil gelas minumannya, membuatku menyendokkan makanan ke mulut dengan buru-buru.

"Tiara?" panggil Mama. "Makannya pelan-pelan, sayang. Memangnya kamu udah pesen driver? Driver udah di depan?"

"Enggak. Aku kan berangkat bareng Kaisar, Ma."

"Uhhuk." Kaisar terbatuk dan menyimpan gelasnya di atas meja sambil memandangiku. "Apa?"

"Nggak," balasku sambil melemparkan senyum. Cowok itu meraih tasnya, lalu pergi setelah pamit singkat pada Mama. Aku minum perlahan agar tidak tersedak. Kuhampiri Mama sambil menarik tasku.

"Aku berangkat, ya, Ma," kataku sembari memeluk Mama dari belakang. Mama menyodorkan punggung tangannya dan segera kucium.

"Dadaaah!" Aku berlari mengejar Kaisar. Tak lupa ke garasi untuk mengambil helm dalam lemari. Helm ini kelihatan baru dibeli saking jarangnya terpakai.

Motor Kaisar sudah menyala dari tadi. Kupasang helm di kepalaku sambil berlari kencang keluar dari rumah. Cowok itu sudah naik di atas motornya. Aku memegang lengan Kaisar hingga dia terkejut. Segera kunaiki motor Kaisar, duduk di jok belakang dengan buru-buru, lalu kulingkarkan tanganku di perutnya dengan erat agar dia tidak mudah membuangku dari motor ini.

"Lo—"

"Mau protes?" tanyaku cepat. "Kita kan pacaran jadi harus berangkat bareng, dong?"

"Tiara." Suaranya penuh intimidasi.

"Apa? Apa?" Tentu saja aku tidak merasa takut. Aku sudah membuang jauh-jauh perasaan takut itu sejak bertekat untuk dekat dengannya.

"Ngapain lo?" Kaisar berusaha menjauhkan pelukanku dengan telunjuknya. Telunjuk! Hanya satu jari. Apa dia sejijik itu?

"Pegangan," balasku singkat.

"Lepasin sekarang."

"Nanti gue terbang. Takut."

Dia hanya berdecak dan kembali menyalakan motornya yang sempat dia matikan dan mulai mengemudikannya tanpa protes lagi. Walau aku hanya melingkarkan tanganku di perutnya, tetapi tubuh kami masih berjarak. Aku sudah belajar menjadi penumpang motor besar saat bersama Kak Sarkara. Aku berani memeluk Kaisar karena aku memang takut tiba-tiba terbang.

Ngomong-ngomong, Kaisar memakai parfum yang tidak menyengat. Ini lembut. Aku mengendus seragam Kaisar, sudah seperti orang mesum saja. Eh? Mirip wangi seragamku. Ah, aku tahu! Itu dari pewangi setrika yang biasa digunakan oleh Bibi saat menyetrika. Sepertinya Kaisar tidak memakai parfum ke sekolah.

Aku mengernyit merasakan sesuatu berirama di tanganku. Suara degup jantung? Bukan jantungku, tentu saja. Jantungku tak mungkin ada di tubuh Kaisar. Itu konyol. Berarti jantung Kaisar, tapi Kenapa jantung Kaisar berdegup kencang begini?

Motor Kaisar tiba-tiba melaju kencang, membuatku melotot. Tanpa sadar aku mendekat ke arahnya. Tubuh kami merapat. Pelukanku pun makin erat.

"PELAN-PELAN, DONG! ASTAGA!" teriakku, panik. Jantungku berdegup kencang. Saking kencangnya, aku yakin Kaisar merasakannya. "EI! KALAU MAU MATI JANGAN AJAK-AJAK, DONG!"

Dia tidak mendengarkan seruanku dan malah menambah kecepatan motornya.

Kaisar gila!

***


 

Time ParadoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang