Latu masih memandang perempuan di depan sana tak habis pikir. Bagaimana bisa Sarira sudah menyambut tamu yang datang melayat dengan senyum selebar dan pembawaan seceria itu? Padahal semalam ... ah, benar juga, ia tak tidur semalaman sampai sekarang yang sudah menginjak pukul 08.00 WIB. Pulang ke rumah Ulung pun tidak. Mereka berempat ikut sibuk di sana membantu Sarira hingga pemakaman usai dilaksanakan dua jam yang lalu.
"Kok bisa Sarira sesantai itu, Ta?" bisik Latu pada lelaki yang duduk di kursi plastik di sampingnya, "padahal semalem sekacau itu. Belum lagi masalah utang."
Yita ikut sedikit mencondongkan tubuh, balas berbisik pada Latu, "Kamu belum tahu? Ulung sudah melunasinya. Pelunasan hutang jenazah itu termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh keluarga yang masih hidup, kamu pasti pernah mendengar itu mengingat kamu seorang muslimah, terlepas bagaimana kondisi kamu sekarang."
Yita kembali duduk tegak seperti sebelumnya.
Tak lama, Ulung menyusul, duduk di kursi depan keduanya, hanya ... ia membalikkan posisi kursi agar langsung menghadap Yita dan Latu. Penampilan lelaki itu tak kalah berantakan. Belum mandi, belum berganti pakaian, bahkan sisa tanah pekuburan masih melekat di beberapa spot sarung yang dikenakan. Omong-omong, ia mengenakan sarung yang diberikan Sa setelah sadar dari pingsan tepat tengah malam. Kantung mata lelaki itu menghitam, bahkan lebih parah dari Yita juga Latu. Netranya pun merah, mengantuk. Ditambah wajah kuyu juga memar dan sedikit robek di ujung bibir sisa perkelahian semalam, lelaki itu sudah seperti gembel di mata Latu.
"Jadi, apa pun dilakuin buat Sarira, nih?" goda Latu, setelahnya menggigit bibir bawah sambil menaikturunkan alis. Ia ingin suasana tak kaku, kematian sudah terlalu beku baginya.
Bisa-bisanya Ulung terkekeh sebelum membalas, "Merasa perlu aja, bagaimanapun kemanusiaan di atas segalanya, Latu. Lagian, terlepas dari masalah perasaan, Sa tetap teman aku."
Latu hanya menggelengkan kepala dengan senyum yang tak pudar. Ulung hanya terkesan mencari alasan dalam opininya.
"Lebih baik kalian pulang ke rumahku dulu, istirahat. Sekalian nanti ajak Jenar. Maaf juga, niat kalian ke sini buat melancong, malah terlibat gini," ujar Ulung.
"Kamu juga butuh istirahat, Mas. Mending kamu ikut pulang, bersih-bersih." Seorang perempuan berabaya hitam dengan jilbab segiempat abu menyusul, sengaja berdiri di sebelah kursi yang diduduki Ulung.
Ketiganya mendongak, menatap wajah teduh perempuan itu.
"Maaf udah ngerepotin, kalian berdua juga. Kita belum saling kenal, tapi kalian udah harus terlibat kekacauan keluarga aku. Maaf sekali lagi, dan terima kasih banyak. Aku nggak bisa balas apa-apa, cuma bisa berdoa semoga kebaikan kalian dibalas lebih sama Tuhan."
Sungguh, Latu semakin tak habis pikir. Tak ada kesedihan sama sekali di mata perempuan itu, seolah duka ini tak pernah terjadi. Menyelaminya lebih dalam pun percuma, yang ada Latu makin tenggelam dalam keteduhan dan kehangatan Sarira, ia merasa penuh dengan ketenangan.
Menatap Ulung lekat, Latu berujar, "Dia sesempurna ini, Lung. Kamu gila?"
"La tu'akhidzina bi ma yaquulun," gumam Sarira sambil terkekeh ringan, tersipu juga merasa geli dengan pujian Latu padanya. Ia melanjutkan, "Aku tidak sempurna, sama sekali tidak. Tanya saja pada Mas Ulung betapa menyebalkannya aku, tapi tetap saja, terima kasih."
"Doa yang sama kayak yang diucapin mamanya Yita," gumam Latu, lalu tersenyum. "Mending sini, duduk dulu. Kan kita belum kenal, kenalan dulu, lah."
Baik Ulung maupun Yita sama-sama memandang Latu sangsi. Baiklah, mungkin Yita tahu betapa mudahnya Latu akrab dengan orang baru, tetapi untuk Ulung, ini masih termasuk kejutan walau ia sudah merasakannya sendiri setelah berkenalan dengan Latu kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ehipassiko
Ficción GeneralApa yang bisa dikukuhkan lewat pemahaman dogmatis? Tak ada, setidaknya begitu menurut Latu. Perempuan berjiwa bebas itu tak menemukan urgensi dari beragama--atau mungkin belum. Menjadi mahasiswi Sastra Jawa barangkali menjadi salah satu jalan baginy...