The Mansion 5

8.4K 852 55
                                    

Dari rumah sakit, Ferrin langsung pulang ke rumah utama keluarga Thahar. Dia temui Bundanya dan tanpa basa-basi langsung mengutarakan maksud kedatangannya begitu saja. "Bun, besok ada rapat pemegang saham, aku harap pagi-pagi sekali bunda segera pergi ke Jakarta."

Gia Noordin tampak tekejut mendengar pernyataan putranya, "Kenapa mendadak sekali? Apa ada yang penting?"

Ferrin mengangguk. "Itu rapat untuk memilih CEO yang baru karena mulai besok Bunda sudah tidak perlu lagi duduk menggantikan posisiku dalam perusahaan keluarga."

Gia Noordin menatap Ferrin dengan dahi berkerut. Tapi dia terlihat tidak terlalu sedih dengan kabar itu. Selama ini kedudukannya dalam perusahaan keluarga memang sebatas simbolis. Semata-mata hanya untuk menggantikan kuasa Ferrin sebagai CEO di Sunco Grup, perusahaan milik keluarga Tahar.

Pada kenyataannya urusan teknis perusahaan lebih banyak dijalankan oleh adik-adik perempuan Ferrin, Vania maupun Vanila. "Apa kau punya alasan kenapa harus secepat itu menggeser kedudukan bunda?" tenang Gia bersuara.

"Banyak."

"Sebutkan salah satunya saja."

"Orang yang melakukan sesuatu tanpa pertimbangan, juga tidak memikirkan skandal yang mungkin timbul bagi kelangsungan perusahaan dan keluarganya tidak pantas duduk di kursi CEO Sunco Grup."

Gia terhenyak mendengar kata-kata putranya. "FERRIN!!"

"Apa yang Bunda lakukan tanpa sepengetahuanku?" Suara Ferrin diselimuti emosi. "Bunda membeli beberapa bangunan ruko milik keluarga Noordin dengan uangku? Demi Tuhan Bun! Apa Bunda tahu akan seperti apa jadinya dampak hal itu jika sampai diketahui oleh wartawan?" Ferrin menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Lagipula... bukankah Bunda sendiri yang mengusulkan ide mengajukan rumah besar sebagai bangunan cagar budaya, tapi kenapa ...."

"Karena aku ingin rumah itu jadi milikku." Gia Noordin menyelesaikan kalimatnya dengan kemarahan yang tak coba lagi dia sembunyikan. "Aku harus memenangkan rumah itu agar semua hinaan yang kuterima puluhan tahun dari keluarga Pamanmu terbayar lunas."

"Bunda!?"

"Sebut aku serakah, tapi apa kau tahu rasanya selalu dibanding-bandingkan dengan sepupu sendiri? Disalahkan karena terlahir sebagai perempuan dan bahkan dipandang sebelah mata oleh keluarga besar." Gia Noordin menatap putranya dengan pandangan nanar.

"Kau tidak tahu apa-apa tentang itu, Nak, karena kau sempurna lahir sebagai laki-laki." Dalam amarah yang berkobar Ferrin bisa melihat mata Bundanya berkaca-kaca, bukan karena kesedihan melainkan karena dendam dan kebencian.

"Bahkan Vania dan Vanila tidak pernah merasakan ketidakberuntungan seperti yang kurasa," sambungnya lagi. "Jadi apa menurutmu aku bisa melenyapkan hantu masa laluku dengan mudah? Tidak, Nak! Aku sudah menunggu sangat lama untuk menghancurkan rumah itu. Menyakiti pewaris lelakinya yang terlalu pongah sampai tak mengira hari ini akan tiba."

Ferrin mendesah putus asa, kekecewaan menyergapnya oleh dua hal yang tidak mungkin bisa dicarikan jalan keluar dengan mudah. Di satu sisi ia tak ingin melihat Ibunya menangis, tapi dia juga tak ingin Bundanya terus memelihara rasa dendam itu lebih lama lagi.

"Bun, jangan terlalu lama memelihara rasa sakit itu, sebagai wanita bunda sudah memiliki segalanya? Apalagi yang kurang, sekarang? Rasa hormatkah?" Ferrin mencecar bundanya dengan pertanyaan-pertanyaan retoris. "Bunda adalah panutan, Ibu yang berhasil membesarkan tiga anaknya. Istri yang sukses membuat suaminya menjadi pengusaha terhebat di Jambi, jadi bisakah Bunda melewatkan keinginan untuk balas dendam?" Ferrin nyaris memohon dengan kata-katanya.

"Lagi pula... siapa yang ingin Bunda balas? Paman Hanafi saat ini tergeletak tanpa daya di rumah sakit. Inara? Keponakan Bunda, dia juga perempuan, Bun. saat ini dia juga pasti mengalami apa yang pernah Bunda rasakan, tidakkah Bunda tergerak hati untuk tidak membiarkannya mengalami hal yang sama?"

The Mansion(Rumah Warisan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang