TPAHI 1

5.9K 868 550
                                    

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau ananda Aslan Haider Iskandar bin Irawan Khaliq Iskandar dengan anak saya yang bernama Aida Zahara dengan maskawin berupa seperangkat alat shalat, Al-Qur'an, dan uang 201.672.000 rupiah, tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Aida Zahara binti Ridwan dengan maskawin tersebut dibayar tunai."

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah!"

Ini mimpi buruk. Ini tidak mungkin!

Aida menunduk dalam, memilih menatap lantai seolah-olah keramik putih polos tanpa motif itu lebih menarik untuk dilihat daripada pria tampan di hadapannya yang notabenenya telah sah menjadi suaminya. Suami? Membayangkan sebutan itu keluar dari bibirnya saja sudah membuat bulu kuduk Aida berdiri.

"Aida, disalimi tangan suaminya," bujuk Maira-kakak Aida-setengah menuntut lantaran sang adik tak kunjung bergerak.

Sementara itu Aslan mulai merasakan kesemutan pada tangan kanannya yang telah teranggurkan selama kurang lebih 15 menit lamanya. Berkali-kali Aslan mengambil napas dan membuangnya lewat hidung, bosan mendengar bujukan demi bujukan para wanita kepada istrinya yang diam bak patung. Istri. Mati-matian Aslan menahan kedutan pada sudut bibirnya perihal sebuah penyebutan yang umum diucapkan oleh pasangan yang telah menikah.

Bukan apa-apa, Aslan hanya merasa konyol dan miris dengan nasibnya sendiri, yang tadinya datang sebagai tamu pihak mempelai pria dalam sekejap mata berubah menjadi mempelai pria itu sendiri.

Ini semua gara-gara Fajri. Sepupu Aslan yang katanya 'paham agama' dan digembar-gemborkan lebih dewasa dari Aslan yang secara usia lebih tua dari Fajri. Mengapa? Lantaran karena Fajri berani menikah lebih dulu dari Aslan yang rumornya lebih mencintai meja kerjanya di kantor daripada manusia.

Tetapi, sekarang apa kenyataannya? Apakah menghilang di detik-detik sebelum ijab kabul dilangsungkan adalah keputusan yang dewasa? Omong kosong!

"Ai, ayolah. Hargai suamimu." Maira berbisik di dekat telinga Aida. Aida yang menikah, Maira yang tertekan.

Aida menelan ludah sebelum memberanikan diri untuk mengangkat pandangannya dari lantai ke sepasang kaki jenjang beralas sepatu kulit hitam yang saking mengkilapnya dapat dijadikan cermin untuk berkaca, lalu naik ke atasan kemeja dan jas senada dengan celana bahannya yang Aida mengira-ngira tidak ada yang menjualnya di Indonesia—alias impor dari luar negeri—dan terakhir wajah sang pria yang membuat Aida refleks mengucap masyaAllah di dalam hati.

"Alhamdulillah." Orang-orang lega tatkala Aida akhirnya mau menyalami tangan Aslan.

Tangan kiri Aslan menyentuh ubun-ubun Aida yang terhalang kain kemudian Aslan mengucapkan doa. Mengejutkan. Doa yang iseng-iseng Aslan baca di internet di perjalanan menuju lokasi ijab kabul tadi siapa sangka akan berguna. Padahal tidak ada niatan menghapal, namun atas kelebihannya yang bisa mengingat sesuatu dalam sekali lihat dan atau baca membuatnya bisa merapalkan kata demi kata dalam bahasa Arab itu dengan lancar.

"Gimana kalau dia jelek?"

Pertanyaan tak berguna tapi sempat berhasil menciutkan sedikit nyali Aslan. Aslan tidak mau dianggap seseorang yang pandang fisik. Prinsipnya, selama berperilaku baik dan berakal sehat, tidak jadi masalah bagi Aslan. Namun, Naqi benar-benar sukses menakutinya dengan pertanyaan sederhana itu setelah akad usai tadi.

Aslan melirik Naqi yang juga turut meliriknya melalui sudut mata. Naqi memberinya kedipan bermakna yang membuat Aslan sontak merasa tinggi hati. Tentu saja istrinya tidak jelek!

"Aslan." Tiba-tiba tubuh Aslan ditarik minggir oleh seorang wanita berpakaian putih. Erina—ibu Fajri, bibi Aslan—tersenyum kikuk pada sang keponakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terjerat Pesona Aslan Haider IskandarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang