Keesokan harinya, Airin menjalani aktivitasnya tanpa semangat, ia lebih banyak diam dan berbeda dari biasanya. Saat ada yang mengajaknya bicara, baru ia bersuara. Airin yang sekarang terlihat sangat berbeda dimata teman-temannya.
Airin menyibukkan dirinya dengan bekerja, setidaknya ia bisa mengalihkan sejenak pikirannya.
"Hoam ..." Airin segera menutup mulutnya yang menguap. Ia merasa ngantuk, malam tadi ia sulit tidur dan baru bisa tertidur jam tiga pagi.
Airin bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju pantry, ia membutuhkan kopi untuk mengusir rasa kantuknya.
"Airin!"
"Astaghfirullah." Airin mengusap dadanya karena terkejut. "Kenapa manggil?" tanyanya menatap Reyhan yang memanggilnya.
"Malam tadi kamu menginap di mana?"
"Di rumah Tasya. Kamu gak percaya? Kamu ingat Tasya, 'kan? Rasanya aku pernah mengenalkannya."
Memang malam tadi ia menginap di rumah Tasya, bertemu Reyhan dalam keadaan kacau bukan hal yang baik, ia lebih baik menghindar.
"Kamu gak bohong kan?"
"Aku gak ada bakat berbohong, Mas. Ngapain manggil-manggil?" tanya Airin.
"Gapapa," jawab Reyhan tanpa rasa bersalah, padahal pria itu berhasil membuatnya kaget.
"Hais ..." Airin kembali melangkah menuju pantry.
"Mau kemana?"
"Bikin kopi," jawab Airin.
"Bikinkan saya juga."
Airin mengacungkan jempolnya memasuki pantry. Sampai di pantry ia langsung membuat dua cangkir kopi.
Setelah membuat kopi, Airin menuju ruangan Reyhan terlebih dahulu, mengantarkan kopi untuk suaminya.
"Eh, ada ayah?" Airin menghampiri ayah mertuanya itu, lalu meletakkan kopi yang ada ditangannya, setelah itu langsung menyalami ayah mertuanya.
"Nemenin Rey kerja ya?" tanya Umar.
"Enggak, Yah. Aku kerja di sini hehe ..." jawab Airin.
"Hah? Kerja di sini? Baru?"
"Iya, Yah. Staf baru. Ayah apa kabar?"
"Alhamdulillah ayah sehat. Kamu cuma staf di sini?"
Airin mengangguk. "Iya, Yah."
"Kok istri kamu staf biasa? naikin dong jabatannya, Rey!"
"Eh ... Eh ... Gak usah, Yah. Aku suka kok dengan posisi ku sekarang, gak usah. Kalau aku mau jabatan tinggi mah sudah lama kerja di perusahaan papa, tapi aku gak mau. Maunya memulai dari bawah saja."
Umar tersenyum lebar sambil menatap Airin. "Gak salah pilih kan, Rey, mama kamu? Kamu harus bersyukur punya istri seperti Airin! Jangan kamu sia-siakan," ucapnya beralih menatap sang anak. "Duduk, Nak. Kita ngobrol-ngobrol dulu."
Airin yang disuruh duduk langsung duduk, tanpa segan ia meminum kopinya. "Ayah mau aku buatkan kopi?"
"Gak usah, ayah sudah minum kopi pagi tadi. kamu juga duduk, Rey!"
Reyhan duduk di samping Airin, sedangkan Umar di sofa yang berbeda.
"Rey baik 'kan sama kamu?"
"Baik kok, cuma kadang suka ngeselin, Yah," jawab Airin.
"Kamu juga suka bikin saya kesal," ucap Reyhan.
"Kok masih pakai saya, Rey! Pakai aku dong atau mas gitu. Jangan formal," ucap Umar berdecak kesal mendengar anaknya memanggilnya dirinya dengan kata 'saya'
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Singkat? (END)
Подростковая литература16+ Tidak pernah Airin bayangkan sebelumnya menikah dengan pria yang tidak ia cintai. Karena satu kesalahan yang membuat orang tuanya kecewa, Airin dipaksa menikah dengan pria pilihan sang bunda. Airin dipaksa ikhlas menerima takdirnya yang harus m...