Seminggu berlalu.
Duduk terpekur di meja ruangan kantor, ini sudah 3 jam Shani hanya nanar memandangi layar laptopnya sendiri. Dia hanya akan bergerak menyentuh cursor benda pipih berbentuk persegi itu bila layarnya sudah menghitam.
Ada kesan melankolis sangat jelas tergambar di raut wajahnya yang tampak kusut.
"Fuck!" pekik Shani mengumpat dengan suara mendesis. Nafasnya berat tak teratur. Kasar wajah mulusnya itu di usap begitu saja.
Selama sepekan terakhir ini, hidup Shani tak jauh-jauh dari gerutu di hatinya yang semakin santer menghantui.
Iya.
Apalagi kalau bukan karena Gracia, sebabnya?
Dalam naifnya kepala batu itu masih berisi ribuan kekesalan yang pada akhirnya membuatnya makin kelimpungan sendiri. Perseteruan perdana di malam setelah acara makan malam itu berlangsung masih terbayang-bayang. Sebenarnya Shani cukup terkejut karena di malam itu pula ia baru pertama kali melihat Gracia yang biasanya tak pernah membentak atau memberikan perlawanan jadi pecah dan berani kepadanya.
Belum lagi pikiran Shani yang masih di hantui permintaan Kinal dan Veranda.
Demi Tuhan.
Shani pusing tujuh keliling. Bingung dia hingga hati dan pikirannya terus menghajar dan mengajaknya untuk bergumul ria.
Tok... tok.... tok...
ketukan beralun pelan di pintu ruangan itu berbunyi. Shani berhenti dan sadar dari lamunan panjangnya itu seraya menoleh dan mempersilakan seseorang yang ternyata adalah Claire, asisten pribadinya.
"Il y a une caution, Miss. (Ada titipan, Miss.)" ucap Claire seraya sedikit membungkukkan tubuhnya sebelum menyerahkan bingkisan yang dibawanya ke meja Shani.
Perempuan yang menduduki jabatan sebagai CEO muda di Perusahaan Properti milik Kinal itu menatap lurus bingkisan yang sebenarnya sudah ia ketahui apa isi dan siapa pula pengirimnya.
"Fritzz ou Marcell? Qui livre ?(Fritzz atau Marcell? Siapa yang antar?)" tanya Shani dengan nada dingin kepada asprinya itu.
"Cette fois, c'est Miss Gracia qui l'a apporté directement dans le hall plus tôt.(Kali ini Miss Gracia yang langsung antar ini ke lobby tadi.)" jawab Claire dengan sopan dan penuh kejujuran.
Sekonyong-konyong Shani meloloskan nafasnya dengan berat. Ada sunggingan singkat yang tampak disudut bibirnya. Sorot mata bak elang itu menatap bingkisan di mejanya lagi seraya sambil menyentuh pelipisnya sendiri. Shani menggeleng tak percaya. Heran setengah mati dia dengan tingkah Gracianya yang terkesan semakin naif saja.
Sebenarnya untuk perkara kiriman makan siang seperti yang diterimanya sekarang bukan sekali dua kali Shani dapatkan. Nyatanya ini sudah terjadi sejak awal dia resmi menikah dengan Gracia. Shani hafal betul kebiasaan istrinya yang satu itu. Tiap siang ketika berada di kantor, sudah pasti secara rutin Fritzz atau Marcell, si ajudannya yang mengantarkan atau bahkan sesekali bingkisan makan siang dari Gracia itu di titipkan pada si adik bungsu.
Tapi masalahnya disini adalah, sejak perseteruan di malam itu terjadi-Gracia yang biasanya masih mau mengajaknya bicara, seperti menawari makan, menawari menyiapkan air hangat untuk mandi, menawari di buatkan kopi dan lain-lain sudah tidak Gracia lakukan.
Tapi sebentar.
Itu bukan artinya Shani tidak lagi mendapatkan pelayanan-pelayanan dari istrinya itu. Segala yang Shani butuhkan di tiap harinya masih di dapatkan, kok. Jadi bukan itu yang Shani maksud-melainkan adalah diamnya Gracia sejak pertengkaran di malam itu hingga sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay, and Love Me! (Greshan Fanfiction)
FanficHari itu, saat dedaunan mulai menguning dan rintik hujan menghantarkan musim gugur. Dua pasang manusia yang sebelumnya tak saling kenal dan bersua tanpa sengaja takdir memaksa mereka untuk Bersatu dalam bahtera rumah tangga. Di atas bentala kota den...