2004 (kembali ke malam tangisan Revan)
Pria berumur seperempat abad, berkelabat mengerjakan simultan rentetan kegiatan. Dari menggendong anak, menelpon ambulan, mencomot jaket, bahkan ia sempat membalut sang anak dengan selimut bayi.
Sirine memekakkan telinga. Pria itu segera membawa anaknya ke dalam ambulan. Sementara ibu Naufal, menyuruh Naufal diam di kamar menemani Haikal. Ia segera menyusul Revan dan ayahnya.
Di atas ranjang rumah sakit, Revan yang setengah sadar meracau, matanya sedikit terbuka. Di ruang temaram, ia bisa melihat bayangan 3 orang—yang kurang jelas menurutnya. Mereka adalah ayahnya, ibu Naufal dan seorang suster.
"Dari tadi sore , Sus, dia menangis terus, suhu tubuhnya juga berangsur tinggi," kata ayah Revan.
"Ibu... Ibu...." rintihan itu terus keluar dari bibir Revan.
"Jangan tegang, ya, Nak, ini infusnya sulit masuk!" titah suster dengan lembut.
Suara itu terdengar samar di telinga Revan. Ia terdiam. Matanya melihat ke arah tabung suntik mana suster itu lesatkan jarum ke punggung tangannya. Tidak ada rasa apapun, tahu-tahu suster itu telah menyelesaikan tugasnya.
Dengan lembut, sekali lagi berucap pada anak itu. "Anak pinter, sudah selesai, sayang!"
Tidak ada respon dari Revan. Ia merasa kepalanya masih pusing. Kelopak mata memberat. Anak itupun terlelap.
***
"Kak, Kak, bangun!" Cho menepuk pipi Naufal. Pria itu mengernyit, mengerjapkan mata.
"Jam berapa sekarang, Cho?"
"Jam 03.00 pagi, Kak."
Naufal menggeliat, membunyikan tulang leher, kemudian menunduk, melihat Revan masih setia meniduri pahanya. Perlahan kepala itu ia angkat, menggeser tubuhnya sedikit. Ekspresi meringis, kakinya keram.
"Ambilkan bantal, Cho!"
Setelah menerima bantal dari Cho, ia meletakkannya di bawah Revan, menidurkan si adik sepupu, pelan.
"Kirei sudah kembali ke asalnya, dibantu Mas Janu, semuanya lancar terkendali tidak ada yang menyadari. Dan ya, Kirei berulang kali mengingatkanku untuk membawamu ke desaku, maaf, aku jadi harus membangunkanmu pagi-pagi buta."
"Tidak masalah, Cho, ayo segera ke sana!"
Mereka berangkat menaiki sepeda onthel tua milik pakde Naufal. Cho yang membonceng, karena Naufal mengeluh dadanya agak nyeri. Tambah lagi hawa dingin dini hari. Matahari tentu masih belum muncul, mereka menyibak gelap hanya bercahayakan bulan dan bintang. Cho bersepeda dengan sangat hati-hati, apalagi saat melewati jalan yang berada di antara dua jurang curam.
Sudah hampir 40 km Cho mengayuh sepeda sampai-sampai kakinya kebas. Belum lagi hawa dingin semakin menggigit, untung saja ia mengenakan sweater turtleneck. Sementara itu Naufal menggigil, bulu kuduk berdiri serta wajahnya kebas. Ia semakin erat memeluk pria si pembonceng. Seharusnya, jas tadi malam ia pakai. Setidaknya bisa mengurangi rasa dingin. Kini Naufal hanya mengenakan kemeja putih juga celana panjang hitam, setelan sisa tadi malam.
Semakin mendekati lokasi, menguar busuk membuat pening. Tempat yang Kirei beritahukan, bukan main jauh, belum lagi jalanan penuh tanjakan. Rentetan hal membuat batin Cho memaki-maki sedari tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Utopia 2014 || The Prologue [End]✔️
ActionEmpat remaja dari sebuah desa terpencil nyaris terlupakan, mereka menjalani hidup sebagai siswa SMA serta si bungsu sebagai siswa SMP. Sistem SMA di mana beberapa murid akan dikirim sebagai sukarelawan desa lain. Dan merekalah yang diutus. Mereka m...