Aroma kayu bakar tercium pekat di sekeliling Rega, kepulan asap tebal keabuan sudah mengepungnya seperti serdadu yang sedang bergerilya. Selanjutnya suara teriakan—antara ketakutan dan perintah keras saling menyahut, membalas dan menimbulkan kegemparan. Baru saja Rega hendak beranjak dari ranjangnya, dua pria kekar bersenjata api sudah datang menodongkan moncongnya ke kepala pria ini.
Mereka membentak dalam bahasa setempat mereka, bahasa suci yang sudah turun temurun terjaga dan tak terpelajari kecuali oleh para keturunan murni. Tapi Rega masih dapat menebak asal-usul penggertak dari pakaian mereka. Pakaian berbahan tipis dengan ukuran lebar dan panjang yang tak mungkin digunakan warga Suku Mata Selatan, sebuah suku berhawa dingin dan bersalju.
Penjajah itu adalah warga Suku Mata Utara, sebuah suku yang dikenal tandus, berkebalikan dengan Suku Mata Selatan. Warga lain mata angin itu membakar dan menjarah apa saja yang ada di kesukuan Mata Selatan. Tak hanya harta benda, warga Suku Selatan diculik dan dipisahkan antara laki-laki dan perempuan, kemudian dibawa pergi jauh.
Itulah yang terjadi pada Rega, setelah dia diancam dengan moncong senjata api, kemudian dia ditaklukan; kedua tangan diikat kencang ke belakang dan diseret paksa menuju sebuah truk bak terbuka dengan jeruji besi di bagian penyekapan. Setelah digiring untuk memasuki jeruji itu, truk melayang rendah dan melaju dengan kecepatan sedang.
Rega hanya bisa menatap orang-orangnya—pria-pria Suku Mata Selatan yang tampak gentar dari sorot mata mereka. Tentu saja kejadian mendadak dan cepat ini mengejutkan, mereka diserang saat sedang tidur lelap, kondisi yang menguntungkan untuk penyergapan.
"Mereka melecehkan kita, melecehkan kesucian pulau ini." Seorang pria bergumam di samping Rega, kedua tangannya mengepal kuat di belakang hendak menghancurkan besi jeruji, tapi tak bisa. "Apa yang dipikirkan Orang Timur ini? Mereka selalu saja berbuat ulah!"
Pria-pria Selatan lain hanya diam, beberapa dari mereka ingat berita penculikan gadis yang dilakukan sekelompok berandal Utara ke pada gadis Timur. Sampai ketiga Mata Angin lain harus membuat koalisi untuk menjaga daerah masing-masing, sebuah penyelewengan tradisi suci di Pulau X yang sudah ada sejak berabad lalu.
Pulau X terdiri dari empat suku besar berdasar mata angin, keempat mata angin ini tak pernah mengusik, berinteraksi, bahkan berkunjung selayaknya masyarakat satu pulau. Mereka menyepakati tradisi suci untuk mempertahankan para keturunan suci, dan caranya adalah tak pernah bertemu muka satu sama lain. Namun, entah apa yang terjadi kini, Suku Mata Utara tidak hanya melanggar dan melecehkan kesuciam tradisi, tapi juga sampai melakukan kekerasan dan penculikan masal, tanpa meninggalkan seorang pun di tempat tinggal mereka.
"Kurasa ada yang tidak beres dengan Koalisi saat ini," sahut salah seorang di sisi lain Rega. "Dilihat dari senjata mereka, juga kendaraan ini, sepertinya mereka memiliki kekuatan besar."
"Tapi jika benar Koalisi merencanakan sesuatu, harusnya aku tahu," kepala Suku Mata Selatan angkat bicara, dia yang sedari tadi hanya memejamkan mata menerima perlakuan kasar Suku Mata Timur, kini dia tatapi warga lelakinya satu persatu. "Di Koalisi, kami berkomunikasi dengan bahasa baru, bahasa Pemersatu. Hanya saja bahasa ini tetap akan cacat jika salah seorang Kepala Suku tidak hadir dalam pertemuan, jadi mustahil jika benar ketiga Mata Angin hendak menjatuhkan kita seorang."
"Lalu dari mana kendaraan ini? Apalagi senjata mereka yang benar mengeluarkan api, anehnya tangan mereka tidak cedera."
"Suku Utara, meski tandus tak terkira mereka adalah suku paling cerdas. Entah sudah berapa banyak senjata buatan mereka yang kami sita karena terlalu mengancam," jelas Kepala Suku pada pertanyaan tadi. "Kadang aku pun sedikit menyalahi tradisi kita yang tidak boleh saling melihat, salah satu dari kita sudah berkembang jauh dan kita yang tidak tahu apa-apa akhirnya terjebak seperti ini."
Hening mengambil alih diskusi, beserta dengkusan napas beberapa orang yang tak bisa lagi berpikir. Meski mereka benci menyalahi tradisi, tapi apa yang dikatakan oleh Ketua mereka ada benarnya. Mereka sudah terlalu buta, sampai tak memikirkan kemungkinan seburuk ini. Tak ada lagi yang bisa mereka perbuat selain mengikuti skenario yang sudah dibuat Suku Mata Utara.
Perjalanan panjang yang dilakukan Suku Mata Utara itu memakan waktu sampai satu hari dua malam, para tahanan yang dibawa sama sekali tidak diberi makan, hanya minum yang harus dibagi sekali teguk selama selisih empat jam. Penyeretan kembali terjadi, sayangnya akibat dehidrasi dam kelaparan beberapa orang sudah wafat dalam tidur. Mayat itu ditinggalkan begitu saja dan para pria Suku Mata Utara menyeret yang sekiranya masih mampu berdiri.
Langkah kaki Rega sama seperti langkah kaki warga lainnya, lemas, terjatuh beberapa kali, juga linglung akibat diseret paksa. Pandangan Rega menelaah pijakannya saat ini; bangunan besar dengan beberapa menara tinggi menjulang di segala sisi, pusat bangunannya sendiri berkubah bundar dengan bahan bangunan berupa tanah pasir yang dibasahi, bagian dindingnya mencuat beberapa batang kayu sebagai pondasi tanah.
Beberapa orang warga tampak terdiam menatapi kerumunan Rega, pakaian mereka yang begitu berkebalikan tentu membawa tanda tanya, tapi ternyata mereka punya satu kesamaan, yaitu memiliki rasa takut, terutama pada senjata api yang dipegang sebagian lelaki di sana.
Sebuah suara teriakan memecah kerumunan, suara itu bersumber dari seorang pria tua yang tampaknya duduk di atas singgasana angkut. Perhiasan emas melilit tubuhnya yang gempal, pun sebuah topi lebar berbulu burung bertengger di puncak kepalanya yang botak. Selain tampilannya, ternyata apa yang dia teriakan menimbulkan aksi anarkis dari lelaki Suku Mata Utara. Mereka menarik paksa Ketua Suku Mata Selatan, yang dibalas dengan pemberontakan dari rakyatnya.
Aksi saling hajar terjadi secara tak seimbang. Para lelaki Suku Mata Selatan yang bernasib terikat hanya dapat mengandalkan kaki mereka untuk melawan, yang juga membuat keseimbangan mereka terganggu. Sebaliknya lelaki Suku Mata Utara yang memegang senjata berhasil mendominasi dan merebut sang Ketua Suku dengan membakar para rakyat tanpa tanggung. Untungnya tanah berpasir dapat memadamkan api di mantel yang dipakai lelaki Suku Mata Selatan, sehingga tak ada yang mendapat luka serius.
Kepala Suku diseret sampai hilang dari pandangan, rakyat kembali digiring ke sisi lain dari bangunan besar. Mereka diarahkan berjalan ke bagian belakang yang dipenuhi oleh rakyat Suku Mata lainnya. Teriakan juga tangisan mewarnai atmosfer di sana. Sekat di antara mereka terlihat sudah repot akibat desakan dorong mendorong yang dilakukan, tapi mereka masih belum sanggup karena kobaran api akan menyambar selanjutnya.
Awalnya Rega tak paham karena dia, juga rakyat lainnya tak paham dengan bahasa Suku Mata lain. Tapi begitu mereka sudah mencapai tengah, barulah mereka sadari mengapa Kepala Suku direbut paksa. Bagai harta jarahan.
Dua Kepala Suku lain berdiri bersisian, tangan diikat kencang. Di hadapan mereka tiga buah tali tambang menggantung, membentuk sampul yang pas jika dimasukan ke dalam kepala.
Kepala Suku Mata Selatan hadir tak lama setelahnya, dipaksa berdiri di sisi kanan Kelapa Suku Mata Barat sehingga pria itu berdiri di tengah. Mereka bertiga saling lirik dengan tatapan pasrah tanpa ada gerakan bibir yang terucap. Namun, mereka jelas tahu nasib seperti apa yang akan mereka dapatkan di detik berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Journey (prompt BPC Bulan Februari)
Short StoryKedamaian di Pulau X tiba-tiba saja mendapat serangan tak terduga dari salah satu penghuninya. Suku Mata Utara dengan obsesi akan teknologi, tak tanggung merebut semua sumber dari ketiga suku lainnya-Suku Mata Selatan, Suku Mata Barat dan Suku Mata...