"Ada apa kau datang kemari secepat ini? Bukannya pindahnya baru lusa nanti?" ucapnya heran sambil memilin ujung rambutnya begitu menyambut kehadiran tamu yang selalu ia nantikan itu, "Ah kau merindukanku ya?"
"Jangan bermimpi." Inojin membalasnya dengan sorot mata dingin seraya melenggang masuk dan duduk di salah satu kursi disana, melihat Sumire yang masih mematung semakin heran akan kekurangajarannya, "Kenapa? Kau bilang aku calon suamimu kan?"
Sumire tersenyum riang dan ikut duduk di salah satu bangku yang berseberangan dengannya. Ia melipat kakinya dan menatap lembut si pujaan hati yang menatapnya tidak peduli.
"Jadi ada apa?" ucapnya langsung pada intinya, "Ah mau ku buatkan minum?"
"Tidak perlu, teh mu tidak seenak buatan istriku."
Wanita itu mengerucutkan bibirnya kesal dengan pernyataan tidak mengenakan itu, "Jika kau kemari hanya untuk memuji bocah itu, pergilah, aku tidak ada urusan dengan itu."
"Tentu itu ada urusannya, kalian akan tinggal bersama bukan? Baik sekali dia mau memberikan tempat tinggalnya untukmu juga."
"Maumu ini sebenarnya apasih?!" Sumire mengepal tangannya dengan gusar, berusaha tenang menahan emosi mendengar rentetan pujian untuk saingannya itu.
"Jawaban." Sumire mengernyit, lalu ia melanjutkan, "Kau bilang, aku menidurimu saat aku sangat mabuk. Aku terakhir minum bersama Mitsuki dan Shikadai, kemudian, lebih jelasnya, aku baru tahu letak rumahmu setelah aku setuju menikahimu. Jadi tepatnya, kapan kita pernah tidur bersama?"
Ia menenggak ludah, tangannya yang semula mengepal perlahan lemas dengan sendirinya, berusaha agar tidak ada setitik pun rasa takut atau cemas dapat terlihat di raut mukanya yang sedari tadi berubah-ubah itu.
"Ha! Jadi sekarang kau meragukanku setelah aku menunjukkan buktinya?"
"Bukti itu yang meragukanku." Inojin mencodongkan tubuhnya kedepan, tepat kehadapan wanita yang tengah gelagapan itu, menyentuh ujung dagunya untuk mengangkat wajahnya tepat menghadapi manik biru cantiknya, "Dan kau tahu apa yang lebih menarik?"
"Aku tahu kau sengaja menaruh cincin pernikahanku di kemeja yang tidak pernah ku pakai itu." Sumire baru akan menyampaikan pembelaannya, jemari telunjuknya menghadap atas menghentikkan percakapannya, "Dan aku tahu kau yang melukai pria kedai sake itu setelah aku pergi bertanya padanya. Benar begitu?"
•••
- Kilas balik -"Aku perlu bukti yang lebih kuat selain ucapan pria itu," ucapnya bergumam sendiri menunggu lampu merah dan mengetuk-ngetuk setir mobilnya, "Ah mungkin ada semacam kamera pengawas disana, aku harus tanya lagi."
Lampu berubah hijau, ia serta merta menginjak gas dan memutar lajurnya mengikuti jalan yang baru saja ia lewati dan kembali memarkirkan mobilnya di titik yang sama di depan kedai itu.
Baru saja ia hendak mengucap permisi, langkahnya terhenti ketika menemukan pemandangan menarik yang membuatnya menarik diri mencari tempat sempurna untuk bersembunyi, tapi tetap bisa menyaksikan dengan saksama apa yang terjadi.
"Maksud Nona?"
"Ada alasan kenapa aku memberimu uang yang sangat banyak walau aku tidak beli apapun disini."
Wanita itu menghentak-hentakkan kakinya, memperpendek jarak antara dia dan sang pria itu yang perlahan berkeringat hebat begitu benda berujung runcing itu menempel sempurna di lehernya.
"Kau tahu? Seharusnya kau tidak ikut campur urusan orang lain yang memberimu banyak uang." Ia berbalik menempelkan sisi dingin benda itu dan memainkannya di tangannya, "Kalau tidak, kau tidak akan pernah tahu apa yang bisa ku lakukan padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
Fiksi PenggemarKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...