Kini rumah keluarga besar Raga kedatangan anggota baru, Hening. Gadis itu mulai terbiasa semenjak diajak Raga bertandang ke sana. Kehadirannya menambah ramai suasana seakan mengobati luka lama. Baik Raga maupun Prayan, keduanya menyadari jika ciri fisik Hening hampir sama seperti Citra, mendiang ibunda Raga.
Hening berdiri tepat di depan sebuah bingkai foto besar pada salah satu spot dinding rumah keluarga besar Raga, tendasnya sampai harus menengadah untuk memperhatikan potret sosok cantik berambut panjang yang sedang duduk sambil tersenyum lebar.
"Almarhum Ibu saya." Suara bariton Raga membuat Hening sekilas menoleh sambil mengangguk-angguk kecil. Pria itu berjalan mendekat dan berdiri di sebelah Hening, sembari memasukkan kedua tangan ke dalam celana bahan yang ia kenakan.
Senyuman Hening seketika mengembang, senang melihat foto yang terpajang. "Cantik Mas, saya betah lihatnya." Gadis itu kembali menoleh, memperhatikan wajah Raga lalu membandingkan dengan potret Citra. "Bentuk wajah nurun ke Mas, ya, sama warna mata."
Raga membalas tatapan Hening, terkadang, gadis di sampingnya itu suka memantik rasa rindunya terhadap sang ibu. Dari cara mereka menyikapi sesuatu, senyuman, sampai warna mata, yang berbeda hanya tinggi badan dan beberapa detail kecil lainnya. Hening jauh lebih berani, meski tertutupi dengan rasa kurang percaya diri.
"Kamu nggak sadar ya?" tutur Raga tiba-tiba.
"Apanya Mas?" tanya Hening heran.
Kalau kamu juga cantik.
Pria itu pun mengalihkan pandangan, lalu memilih beranjak dari sana menuju ruang baca di dekat halaman belakang. Hening yang bingung lantas mengekor, tidak ingin tersesat jika dia sendirian berkeliaran di rumah sebesar itu.
***
"Ungu? Ungu itu apa, Aunty?" tanya Enzi menatap Hening dengan raut wajah lucunya.
Hening sedang menemani Enzi mewarnai di buku gambar. Gadis itu dengan pulpen mencorat-coret, membuat garis yang saling menyambung, membentuk beberapa hewan, seperti kucing dan ikan.
"Ungu itu ... ini namanya warna ungu, Enzi." Hening menunjuk krayon berwarna ungu sembari menggaruk kepalanya, berusaha menjelaskan kepada Enzi tapi belum menangkap maksud dari pertanyaan si kecil.
"Purple, Enzi ambil warna purple." Nila yang dari tadi mengawasi akhirnya angkat bicara, dia duduk di sofa sambil menyilangkan tangan, ekspresinya masam ditujukan kepada Hening seperti biasa lalu membuang muka.
Dehaman dilaku Hening, lalu mengulas senyumnya kembali kepada Enzi. "Iya, maksud Aunty, warna purple."
"Pulple! Ikan walna pulple." Enzi tampak antusias mengambil krayon warna ungu dan mencorat-coretkan benda itu pada gambar ikan yang belum diwarnai. Hening menggelengkan kepalanya tidak habis pikir sambil terkekeh, rupanya anak itu hanya mengetahui warna dalam bahasa inggris.
Masih di satu ruangan, pada sisi lain dekat jendela besar, Raga sedang menemani Prayan bermain catur, keduanya berhadapan dengan atensi fokus pada papan permainan. Mimik wajah Raga maupun Prayan tampak serius, belum ada yang melakukan pergerakan. Raga sedang memikirkan kemungkinan langkah selanjutnya dengan hati-hati.
"Kamu terlalu lama mengambil keputusan," celetuk Prayan.
"Raga masih harus banyak belajar lagi, Kek." tanggap Raga membenarkan ucapan Prayan, kuasanya baru bergerak memindahkan bidak gajah.
Jika dilihat dari sudut pandang Hening, ia merasakan keluarga besar Raga sangat memperhatikan soal meluangkan waktu bersama keluarga. Padahal mereka semua orang yang sibuk, tapi masih sempat bertatap muka bahkan sampai berkumpul di suatu ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mitambuh
Romance[TAMAT] Hening Merona setuju pacaran pura-pura dengan Raga Tatkala Juang karena lelaki itu konon mampu menghilangkan kutukan yang menempel pada dirinya. Tidak hanya Hening yang punya kepentingan pribadi, Raga pun sama. Hubungan baru yang semula Heni...