Part 9. Menerima Tawaran Kerja Sama

5.7K 356 20
                                    

Kadang sifat manusia itu layaknya seperti bunglon yang berubah-ubah.  Hingga lupa jika hidup di dunia ini hanyalah sementara.

-Takdir Sang Ilahi-

°°°

Jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Seorang pemuda memijat pelipisnya, saat rasa pusing melanda. Terlihat sosok wanita paruh baya membawakan sebuah gelas di tangannya. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman hangat sembari duduk di samping putranya. Tangannya terulur mengelus kepala sang putra, sampai membuat netranya terbuka.

"Umi.." Azzam menegakan posisi duduknya.

"Masih pusing, dek?" tanya umi Fatimah lembut.

Azzam mengangguk kecil. Kemudian umi Fatimah memberikan gelas yang tadi di bawa. Yaitu sebuah minuman  herbal yang biasa beliau bikin untuk anak-anaknya.

Azzam lantas meminum itu sampai habis, bahkan seperti tak merasakan pahit sama sekali.

"Mau minum obat juga?" tanya umi Fatimah.

Azzam menggeleng seraya meletakkan gelas kosong itu di atas meja.

"Nggak usah, umi. Umi kan tau sendiri, kalau Azzam gak suka minum obat," katanya. Sejak kecil Azzam memang sangat susah jika minum obat saat sakit, ia justru lebih suka jika meminum seperti jamu tradisional atau minuman herbal buatan umi-nya.

Umi Fatimah terkekeh kecil dengan perkataan sang putra. Memang, putra bungsunya ini beda dari yang lain. Ketika lagi sakit, bukannya minum obat, justru hanya ingin minum khas jamu tradisional. Dan hal itu sangat langka.

"Kalau masih pusing, gak usah kuliah dulu, dek. Izin aja." ujar umi Fatimah.

"Nggak, umi. Sekarang Azzam kan udah semester akhir, jadi susah buat izin. Apalagi sekarang di sibukkan dengan skripsi dan revisi." tutur Azzam dengan wajah lesu. Lalu meletakkan kepalanya di pangkuan sang umi.

Umi Fatimah mengelus-elus kepala putranya dan membuat Azzam merasakan kenyamanan.

"Tetep jaga kesehatan juga, dek!"

Azzam mengangguk. "Iya, umi. Azzam ingat kok," jawab Azzam dengan memejamkan mata dengan elusan lembut di kepalanya.

"Oh ya, dek, coffee shop kamu sekarang gimana? Lancar semua?" tanya umi Fatimah dengan tangan yang masih ada di kepala putranya.

Azzam membuka matanya. "Alhamdulillah beberapa bulan yang lalu sampai saat ini lancar, umi."

"Syukurlah kalau begitu. Umi boleh kan, ke coffee shop kamu? Sekalian nanti siang umi ajak kakak kamu juga." ujar umi Fatimah.

Azzam menegakan kepalanya di pangkuan umi-nya. "Boleh, umi. Kenapa umi harus bilang? Coffee shop ada karena usaha umi juga."

"Umi gak ngelakuin apapun, dek. Ini semua juga kegigihan usaha kamu sendiri. Umi hanya bantu doa saja."

Takdir Sang Ilahi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang