- Epilog -

4.3K 180 10
                                    




13 bulan kemudian...

BIRU

Aku memasuki salah satu kafe di daerah PIK yang nuansanya betul-betul merusak harga diriku ketika menginjakkan kaki ke dalamnya. Nuansa merah muda membuatku meringis, ditambah dengan ornamen kuda berwarna senada yang dikelilingi hiasan bunga berwarna ungu dan salem di salah satu sisi dinding. Aku berani jamin, setiap lelaki yang ada di dalam kafe ini, hanya hanya memiliki 1 tugas : mengambil foto teman wanitanya sebagus mungkin.

Aku menarik kursi berwarna merah muda dan buru-buru ingin menuntaskan keperluanku dengan perempuan di hadapanku ini.

"Kusut banget muke lo, Kak."

Aku melengos saat dia mulai terkikik melihat ekspresiku yang tidak berubah.

"Ini pembalasan karena udah maksa gue nemenin lo latihan basket di siang bolong." katanya sambil menjulurkan lidahnya dengan jahil.

"Itu setahun yang lalu, Jinggooo... Dan lo sendiri yang minta dikenalin sama Dimas."

"Otak lu nggak umum, Kak. Ngenalin orang tuh wajarnya di kafe, mall, atau dimana kek yang nyaman. Ini malah di tempat panas, keringetan..." ujarnya kesal.

"Banyak omong lu ah, kenalan di lapangan basket tapi bentar lagi juga nikah."

Yep! Tidak disangka, adik paling bungsuku ini akan menikah dengan pria di tempat kerjaku dulu.

"Satu lagi, Kak. Nama gue Jingga, pake "A" bukan "O""

"Bodomat. Daripada gue panggil jigong?"

Jingga mati kutu. Ia hanya bisa menggeleng-geleng tanpa habis pikir. Kenapa juga abangnya yang songong ini harus lahir duluan?

Setelah beberapa saat, kami memutuskan untuk memanggil waitress. Ia memesan cheese cake yang disajikan dengan saus sea salt caramel yang terlihat nikmat, namun aku cukup dengan segelas air mineral dingin. Ia mendecih melihat pesananku, tapi tidak berkata apa-apa.

"Mana temen lo yang anak arsitek itu?" tanyaku saat menandaskan air di gelasku.

"Bentar lagi nyampe. Otewe katanya." jawabnya sambil menikmati cheese cake-nya dengan penuh penghayatan.

"Lo kenapa ga ngajak temen cewe lo aja sih? Malu-maluin aja ngajak gue ke tempat girly kayak begini."

"Ya masak ngomongin renov apartemen sama cewe, Kak. Mana ngerti mereka."

"Kan udah gue bilang lu nggak perlu renov, Nggo. Apartemen itu masih bagus, cuma gue tempatin berapa tahun juga."

Jingga menatapku dengan bibir mencebik, "Ogah! Penting banget renov biar gue nggak kebayang berapa cewek yang udah masuk ke apartemen itu."

"Astaghfirullah, Nggo, sehina itu lo mandang gue?"

"Emang. Wek!" ledeknya sambil menjulurkan lidah seperti bocah ingusan.

Sebelum aku sempat melontarkan kalimat balasan, seorang pria dengan badan dempal berdiri dengan senyuman yang merekah. Ia menatapku dan Jingga sembari mengucap "permisi" dengan sopan. Wajahnya nampak familiar. Bibirnya tipis, kacamata segiempat yang membingkai wajahnya semakin menguatkan imajiku tentang seseorang.

"Gerry!"

Jingga sontak berteriak dengan mulut penuh cheese cake. Ia segera menyapa singkat sohib nya saat di bangku kuliah dulu. Setelah mempersilahkan Gerry duduk, memperkenalkannya denganku dan berbasa basi singkat tentang kabar masing-masing, aku tidak tahan untuk mengeluarkan pertanyaan yang mengusik kepalaku.

"Have we met?" tanyaku akhirnya, yang ditanggapi dengan naiknya alis tebal Gerry.

"Kayaknya nggak. Kenapa, Bang?"

Silver Lining ✅ END ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang