Pagi itu seperti biasanya, Nadira sudah bersiap-siap sejak pukul lima pagi. Ia begitu menikmati pekerjaan barunya sebagai pembantu. Mendapatkan majikan yang baik sudah sangat ia syukuri, untung-untung dia bisa dapat bonus jika pekerjaannya memuaskan. Gadis berkulit sedikit gelap itu tengah sibuk menyisir rambut. Tak lupa ia memolesi bedak tipis di pipi. Sejenak Nadira melirik ikat rambu milik Ervi yang tergantung di paku dekat cermin. Ia tersenyum, mengambil ikat rambut itu dan mengucir rambutnya dengan rapi.
Semangat selalu ditunjukkan Nadira beberapa hari belakangan. Ia seakan keluar dari kebosanan setelah berbulan-bulan warung kecilnya amat sepi dari pengunjung. Sekarang dengan pekerjaan baru, Nadira bisa mendapatkan suasana yang menyenangkan. Ah. bagaimana tidak, dia belakangan bisa kuliah di rumah Tari menggunakan laptop Barus yang baik hati meminjamkannya untuk berkuliah.
Nadira mematut diri di depan cermin, ia berbisik pelan, "kamu cantik, Nadira," pujinya pada diri sendiri.
Gadis itu berbalik badan, menatap wajah Ervi yang masih terlelap tidur. Sungguh, wajah cantik sang kakak tampak begitu lelah. Nadira hanya bisa menebak betapa frustasinya Ervi karena masalah yang mereka hadapi.
"Semoga gajiku nanti bisa meringankan beban kita, Kak." Nadira lirih bersuara.
Segera ia beranjak ke arah pintu kamar. Mengambil sepatu kets dari raknya seraya melihat jam di dinding kamar yang baru lewat dari setengah enam.
"Mau kemana, Dir?" tanya Ervi yang membuat Nadira menoleh. Suara sang kakak serak, khas orang bangun tidur. Disana Ervi setengah duduk dengan bertumpu pada tangan kirinya.
"Ke rumah teman, Kak, mau buat tugas kuliah," ucap Nadira beralasan, ia lihai sekali berbohong kepada Ervi. Seolah sudah mempersiapkan alasan itu.
"Sepagi ini?" tanya Ervi menyelidik.
"Iya, kak, namanya juga weekend, dia punya family time setiap weekend, jadi tugasnya mau kami selesaikan sebelum siang."
Ervi mengangguk, percaya kepada sang adik.
"Eh, Bang Ardan masih langganan di sini kan, Kak?" Nadira menghentikan kegiatannya mengikat tali sepatu. Kali ini ia benar-benar fokus melihat wajah Ervi yang tertawa kecil mendengar pertanyaannya barusan.
"Cieh! kangen ya karena nggak pernah ketemu lagi, kamu sih lebih milih kuliah di tempat temanmu itu daripada di sini."
Nadira balas tertawa mendengar candaan sang kakak—padahal Ervi sangat serius dalam candaannya.
"Jangan ngada-ngada, Kak. Aku pamit dulu ya, nanti aku siang udah pulang kok." Nadira segera menyelesaikan ikatan tali sepatunya, lantas pergi meninggalkan Ervi yang hanya mengembuskan nafas panjang.
Ah, entah mengapa ia merasakan sesuatu menelusup hatinya saat menyebut nama Ardan kepada Nadira tadi. Gadis itu melirik ke arah jam di dinding, masih amat pagi buat Nadira pergi ke rumah temannya. Ia merasa ada yang salah, apa tidak apa-apa Nadira datang ke rumah temannya sepagi itu?
Menjelang siang, Ervi kembali menjaga warung kecilnya seorang diri. Sejak pagi sudah ada tiga pengunjung yang datang. Selebihnya lengang, para pengunjung lebih memilih untuk membungkus makanan yang mereka beli. Gadis itu memilih memainkan ponselnya, kali ini ia menyibukkan diri dengan media sosial.
Di sela-sela kegiatannya itu, ia melihat-lihat media sosial Erwin. Baru saja ia membuka profil laki-laki itu, seketika saja dadanya bergemuruh menahan amarah. Ah, baru beberapa hari lalu hubungan mereka berakhir, sekarang lihatlah, Erwin sudah mem-posting foto berdua dengan Puja. Ervi berdesis kesal, kenapa begitu mudah laki-laki itu berpaling? Padahal ia sampai detik itu masih uring-uringan karena jenuh yang melanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)
Romansa( T A M A T ) Terkadang Tuhan membantu kita yang tengah kesusahan dengan mengirimkan malaikat dalam wujud manusia. Ia hadir begitu kita tengah kesusahan dan menghilang seiring kesusahan itu pergi. Ini bukan tentang malaikat sesungguhnya, tapi manusi...