01. Kenapa Memilih Pergi

59 8 11
                                    

"Pernah dengar pepatah Sunda 'herang panon, tiis ceuli'? Artinya damai. Nah, ketika Bapak di desa, Bapak benar-benar merasakan itu, apa itu yang namanya udara sejuk, penglihatan segar, telinga tidak bising. Kita hidup di kota gak akan pernah merasakan apa itu kedamaian dan ketenangan jika tidak pergi ke desa."

Bagi Chandra, dunia itu luas dan luar biasa. Dia memiliki impian yang dipupuk sejak bangku sekolah dasar. Di mana saat itu seorang guru menceritakan tentang liburan akhir tahun dengan pergi camping ke sebuah desa, awalnya guru itu bercerita untuk memancing para murid agar mau membagi kisah selama liburan berlangsung. Namun, bagi seorang bocah yang duduk di pojok bangku justru terdengar sangat menarik. Chandra dengan antusias mendengar setiap detail sang guru bercerita, tanpa sadar dia memencet tombol jiwa petualang dalam dirinya.

Ketika beranjak remaja, Chandra tumbuh menjadi seorang pemuda yang suka berkelana. Tak terhitung dirinya pulang malam hanya sekadar untuk mengendarai motor dan keliling kota kelahirannya atau mulai mengenal dunia nanjak-menanjak gunung. Semua hari yang dilewati Chandra begitu menggebu-gebu. Dirinya menanam keinginan untuk menyambangi banyak tempat, ke pelosok Indonesia, bahkan sampai antah-berantah dunia.

"Ndra, Tampo Mas minggu depan," ucap seseorang sembari menepuk punggung tegap Chandra.

"Di mana, tuh?" Chandra mengernyitkan keningnya, sesaat dia merasa asing dengan nama yang disebutkan sang kawan.

"Sumedang. Konvoi kita nanti," sahutnya sembari tertawa dan duduk di samping Chandra.

Mimpi itu kian membesar ketika dirinya bertemu dengan Wendy, adik kelas di bangku menengah atas yang merupakan seorang bule atau blasteran Indonesia-Jerman dan sepanjang hidup tinggal di Kanada dengan budaya Indonesia. Mereka berteman akrab, Chandra yang bersahaja tak segan menyapa Wendy duluan. Tidak menampik bahwa saat itu Wendy menjadi pusat perhatian orang-orang dengan parasnya yang rupawan. Tentu saja saat itu Chandra menjadi salah satu dari barisan laki-laki yang tertarik padanya. Pada saat itu cukup jarang ada blasteran yang belajar di sekolah negeri, sehingga bisa dibilang kehadiran Wendy seperti angin segar.

"Aku sebenernya suka tinggal di sana," ceria Wendy suatu ketika mereka duduk di bangku taman belakang sekolah dengan gadis itu memangku buku yang tadi sedang dibacanya. "Orang tuaku sering ngajak bepergian. Tempat baru, suasana baru, yang bikin aku semangat. Dan aku mulai sadar kalau aku ini kecil, gak berarti apa-apa."

Selain terpukau dengan pesona pipi merona Wendy, Chandra juga tersihir dalam setiap untaian kata yang keluar dari wanita itu. Dari mulai Quebec sampai Toronto. Chandra berjanji suatu saat nanti akan menginjakan kaki di sana.

Semakin mengenal Wendy, Chandra semakin sadar bahwa mereka memiliki kemiripan. Mereka mempunyai ketertarikan yang sama hampir di semua bidang. Selera musik yang bersinambungan, kecocokan humor, sampai pada impian yang sama, yakni menjelajahi semua tempat.

Wendy menceritakan tempat-tempat indah di ujung dunia sana yang pernah dia kunjungi saat liburan bersama keluarganya, sehingga Chandra diam-diam tergiur untuk datang ke tempat itu. Obrolan-obrolan kecil tentang tempat kemudian menumbuhkan rasa di antara mereka. Perlahan-lahan sampai pada akhirnya mereka berjanji untuk menjelajah bersama.

"Oh, katanya ada tempat bagus buat lihat aurora di sebelah Utara. Sayang banget aku belum pernah ke sana. Suatu saat nanti pengen deh lihat aurora bareng orang tersayang." Wendy menunduk setelah mengucapkan itu. Matanya bersinar teduh dengan pipi yang perlahan memancarkan warna cantik.

"Sama aku ya ke sananya?" timpal Chandra menatap Wendy tak kalah lembut dari sinar mentari pagi hari itu ketika mereka melakukan kemah dengan teman-teman yang lain.

Journey Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang