Jemari Sabda memegang dagu Senja, wajahnya menunduk tepat di atas wajah gadis yang tangannya kini gemetar. Satu kecupan saja tidak cukup hingga membuatnya melumat bibir mungil itu untuk beberapa lama.
Sesaat itu detak jantung Senja serasa berhenti. Napasnya juga tersekat di tenggorokan. Tidak tahu harus merespon bagaimana dengan tindakan spontan Sabda. Gadis itu membeku. Jujur ini kali pertama seorang pria mencium bibirnya. Pria yang telah halal baginya.
Sabda melihat wajah gadis di depannya yang memucat dan diam bak patung. "Maaf!" ucap Sabda sambil tersenyum, jemarinya mengusap bibir yang telah di ciumnya.
Senja jadi salah tingkah dengan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Pipinya yang putih merona merah. Seandainya Sabda tidak ingat ada Mbak Nur yang sedang beres-beres di dalam, mungkin dia bisa melakukan lebih sepagi itu.
"Kamu pasti belum sarapan. Aku pesankan makanan ya. Kamu mau makan apa?" Sabda mengambil ponsel di saku celananya. Membuka aplikasi dan menunjukkan layar ponsel pada Senja.
"Nasi urap sama ayam goreng saja." Senja menunjuk satu menu yang tampak di layar tanpa melihat daftar menu lainnya. Tak di pungkiri, perutnya memang sudah terasa perih.
"Oke. Sebentar aku tanya ke Mbak Nur, dia mau makan apa." Sabda berdiri meninggalkan Senja dan melangkah ke ruang dalam. Kala itu pun Senja baru ingat kalau ada pekerja paruh waktu sedang bersih-bersih di apartemen. Bukankah tadi berserempak ketika dia dan Sabda hendak meninggalkan apartemen. Bagaimana jika wanita itu tahu apa yang dilakukan Sabda tadi?
Mbak Nur mengikuti Sabda yang kembali menemui Senja. Wanita itu dengan sopan bertanya pada Senja. "Mbak, mau dibuatkan minum apa?"
Gadis yang di layani layaknya majikan tampak canggung. "Nggak usah, Mbak, terima kasih. Nanti biar saya yang ngambil sendiri," jawab Senja dengan sopan. Mbak Nur mengangguk lantas mundur ke belakang.
Sabda kembali duduk sambil menerima panggilan mungkin dari kantor. Pria itu bicara sangat serius. Setelah beberapa saat belum juga selesai, Senja meninggalkan pria itu ke belakang.
"Mbak, sudah lama kerja di sini?" tanya Senja pada perempuan yang sedang memasukkan pakaian dan seprai ke dalam tas besar di dekat ruang tamu. Barang itu akan di bawanya pulang untuk di cucikan di laundry.
"Sudah, Mbak. Sekitar empat tahunan saya kerja sama Mas Sabda. Cuman saya hanya datang ke apartemen seminggu dua sampai tiga kali."
"Rumah Mbak jauh dari sini?"
"Enggak juga. Hanya sepuluh menitan naik angkot. Tapi tadi saya bawa motor. Saya tadi pagi kaget waktu masuk ada cewek di sini. Maaf lho, Mbak. Tadi saya nggak tahu."
Senja tersenyum. Tak enak hati jika di duga dia perempuan murahan yang bisa diajak menginap Sabda di sana. Namun dia juga tidak berani menjelaskan tentang hubungannya dengan Sabda.
"Kata Mas Sabda biasa Kakak sama istrinya pernah menginap di sini?"
"Iya. Tapi hanya beberapa bulan saja. Mas Chandra sudah beli rumah sendiri dan jarang banget ke mari. Mas Sabda yang sering menginap di sini."
Hening. Di ruang tamu masih terdengar Sabda menelepon. Sementara Mbak Nur mengambil beberapa gorden kotor yang tadi di lepasnya dan memasukkan jadi satu dengan pakaian kotor tadi.
"Mbak," panggil Senja pelan.
"Njih, Mbak."
"Boleh saya tanya sesuatu?"
Wanita itu mengangguk.
"Siapa yang sering datang ke apartemen ini selain kakaknya Mas Sabda?" Senja bertanya lirih. Mbak Nur diam sejenak lantas menggeleng. "Nggak ada?" jawab wanita itu ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pernikahan Biasa (Sabda-Senja)
RomanceArga bertunangan diam-diam dengan gadis lain tanpa memberitahu Senja, kekasihnya. Padahal hari itu juga hari yang telah direncanakan untuk melamar Senja. Peristiwa menyakitkan yang membuat Senja harus menghadapi pertunangan dan pernikahan kilatnya d...