Bahagia versi kalian itu seperti apa?
Kebanyakan orang akan menjawab dengan lantang, ketika kejatuhan uang 1 Milyar dari langit! Alias saat memiliki uang banyak, jawaban seperti itu sudah pasti akan keluar dari mulut Sayani dan Aden. Lalu bagi Hening sendiri, kebahagiaan itu sederhana, bisa melihat wajah ibu dan adiknya yang tersenyum senang atau diri yang berkutat dengan hobinya ketika menggambar sesuatu, paling sederhana mendengarkan musik atau bisa tertidur pulas sampai pagi.
Kekayaan bisa membuat seseorang tersenyum lebar dan membanggakan diri, tapi banyak juga dari mereka yang masih merasa kosong. Percaya tidak, jika berjalan santai dengan seseorang di malam hari sambil menikmati pemandangan ibu kota dan makan cimol hangat dapat mengisi kekosongan hati? Raga percaya itu. Tidak perlu bertanya soal Hening, si gadis sangat menikmati obrolan ringan yang mengalir antara dia dan Raga. Menikmati, berarti membuat nyaman, tapi belum gadis itu sadari.
"Sudah saya bilang, hati-hati." Raga untungnya sigap menahan lengan Hening, karena gadis itu hampir saja tersandung batu yang mencuat di trotoar. Tapi nahas, cimol terakhir milik Hening harus direlakan, dan mendarat sempurna ke jalan.
Cimol rasa keju dengan saus yang melimpah, kenikmatannya tiada dua, sampai tidak terasa Hening sudah nyaris menghabiskannya.
"Yah ... duh, abangnya sudah pergi ya?" Hening setengah berbalik, abang tukang cimol dan gerobak sepedanya sudah tidak ada.
"Enak banget ya?" tanya Raga penasaran.
Lampu-lampu dengan benderang menerangi jalanan ibu kota, pukul 8 malam seolah masih jam 3 sore. Jalanan sangat ramai, hiruk-pikuk orang yang berjalan kaki pun tambah menghidupkan suasana. Karena malam minggu, memang sudah hal yang wajar terjadi.
"Banget, Bapak sih tadi nggak mau nyobain," tanggap Hening sambil membuang plastik sisa makanannya ke dalam tong sampah.
Mereka berjalan santai sampai ke sebuah taman kota, makin ramai lagi orang-orang di sana. Sebetulnya Hening kurang nyaman, karena jarang sekali keluar malam, dia pun selalu menempel pada Raga sambil memperhatikan sekitar. Seketika tangannya digenggam Raga, dia dibawa menepi, di sini lumayan lengang hanya ada beberapa orang yang mengobrol dan sesekali terdengar tawa dari sekumpulan orang lainnya.
"Duduk sini sebelah saya," Raga duduk di tangga, salah satu akses untuk kembali ke trotoar jalan.
"Nanti nutupin orang lewat, Pak," tolak Hening sambil memperhatikan sekitar meski tangga itu cukup lebar.
"Yasudah, duduk di sini." Terdengar enteng Raga menepuk kedua pahanya, dengan ekspresi wajah biasa diikuti senyuman tipis.
Hening melotot. "Lebih gila lagi nih Bapak-Bapak satu," celetuk Hening.
Raga bergeser ke tengah, lalu menarik pelan lengan Hening untuk duduk di sampingnya. "Masih ada space jalan," imbuh Raga sambil menatap ke depan.
Pemandangan di sana tidak jauh-jauh dari orang yang berkerumun, ada juga yang naik sepeda. Suasana seperti itu mengingatkan Hening dengan Sangga, almarhum ayahnya.
"Waktu kecil dulu, saya sering diajak Papa jalan-jalan malam, muter-muter perumahan pakai sepeda motor. Terus nongkrong kayak gini juga di pinggir jalan sambil makan gorengan." Hening tiba-tiba ingin bercerita tentang masa lalunya.
"Kalau boleh tahu, ayahmu meninggal karena apa?" Raga tidak berusaha menggali informasi, pertanyaan itu terlontar begitu saja.
"Kecelakaan bus waktu mau jemput saya di Jogja, ah ... kangen banget sama Papa." Hening mengambil napasnya dalam-dalam, lalu menoleh ke Raga. "Kalau boleh tahu juga, Ibu Bapak meninggal karena apa ...?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mitambuh
Romance[TAMAT] Hening Merona setuju pacaran pura-pura dengan Raga Tatkala Juang karena lelaki itu konon mampu menghilangkan kutukan yang menempel pada dirinya. Tidak hanya Hening yang punya kepentingan pribadi, Raga pun sama. Hubungan baru yang semula Heni...