03

316 36 2
                                    

Minji masih larut dalam tangisannya sambil menahan rasa sakit dari pergelangan tangannya, namun tiba-tiba suara dering telepon membuatnya beranjak dan mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajar. Tanpa mengecek siapa yang meneleponnya, sang gadis langsung menjawab panggilan itu.

"Halo?"

"Ji, bantuin gue kerjain PR fisika, plis! Gue bingung banget, mana besok mau ulangan!"

Tidak perlu waktu lama, Minji langsung mengenali suara itu. Suara nyaring milik Haerin.

Astaga, Haerin sering sekali mengganggunya di saat-saat dia sedang seperti ini.

"Hmm. Di rumah gue?"

"Gue sih pengennya ke rumah lo, tapi Hanni-"

"Tidur," potong Minji dingin. Sungguh, ia tidak suka mendengar orang lain membahas tentang adiknya.

"Oh oke, gue ke rumah lo sekarang."

Sambungan dimatikan oleh Minji. Gadis itu benar-benar dingin dan menghemat kata.

Tidak membutuhkan waktu lama, lima menit kemudian Haerin sudah sampai di rumah megah sahabatnya.

"Haerin, bisa tolong panggilin Minji?"

Haerin menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata papanya Minji. Sebetulnya Haerin sendiri juga tahu kalau hubungan Minji dengan papanya itu tidak baik. Mungkin bisa dibilang, canggung?

Haerin jadi bingung harus menjawab apa. Bagaimana pun, sejauh yang gadis itu tahu, Minji akan selalu menghindar dari papanya.

"I-iya om," jawab Haerin kaku.

Sementara itu, Minji yang mendengar percakapan antara Haerin dengan papanya, seketika kembali merasa ketakutan. Seluruh badannya bergetar, dan tanpa sadar, air matanya kembali menetes. Ia benar-benar sedang ingin menghindar dari papanya.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu itu membuat Minji menoleh dan mendapati Haerin masuk ke kamarnya.

"Gue gak mau... please..." lirih Minji.

"Iya, gue yakin papa lo pasti ngertiin lo kok. Tenang aja," jawab Haerin, menenangkan Minji.

"Gue takut Rin..."

"Tenang Ji, ada gue di sini. Jangan takut, ya?" ucap Haerin sambil menghapus air mata Minji.

Atensi Haerin teralihkan karena ia melihat ada bercak merah di seragam putih milik Minji. Ia segera meraih lengan Minji dan melihat bekas luka sayatan yang belum sepenuhnya mengering. Masih ada darah yang menetes.

"LO GILA?!" teriak Haerin panik, lalu berusaha menghentikan pendarahan tersebut.

Sialnya, sayatan itu berada tepat pada nadi, menyebabkan darah terus menyembur dari area tersebut.

Minji menunduk, ia takut untuk hanya sekedar menatap wajah sahabatnya. Sudah pasti ia akan diceramahi habis-habisan.

Terakhir kali Minji ketahuan cutting oleh Haerin, Haerin marah bukan main. Ia mengambil silet yang digunakan Minji. Silet itu, sepertinya tidak akan pernah dikembalikan lagi.

Minji mengerti, Haerin bermaksud baik. Ia mengerti, sahabatnya pasti khawatir dan jelas tidak ingin ia mengulangi hal yang sama. Tapi sayangnya, Minji benar-benar sering menyakiti dirinya sendiri, yang menurutnya adalah satu-satunya pelampiasan ketika ia sedang stres.

Silet miliknya yang diambil Haerin memang tidak dikembalikan, tapi Haerin tidak tahu bahwa ia masih menyimpan banyak silet lainnya di laci yang tersembunyi. Jadi, sebenarnya, upaya Haerin sia-sia.

Wishlist || Kang HaerinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang