"Kalau gitu aku jadi badut aja, deh."
Lanka merekahkan senyumnya. "Boleh, tuh. Pakai wig juga jangan lupa."
"Halah itu mah kamu yang kesenengan."
"Mana ada. Aku terima cara apapun, semau kalian gimana. Yang penting berhasil."
"Dia kalau lihat muka Jila ketawa ngga ya?"
"Heh! memang muka ku kenapa?!"
"Muka mu kayak pantat."
"BRENG–"
"LANKA!" Andera berteriak keras. Membuat Lanka dan beberapa siswi yang sedang mengerumuninya menoleh. Memandang bingung Andera yang datang ke arah mereka dengan napas tersenggal-senggal.
"An?.... Andra? Aninda? Andaka?" Lanka memicingkan matanya menatap Andera yang sudah berada di depannya. Memastikan mana nama yang benar. Lelaki itu benar-benar lupa dengan namanya. Jila langsung menyenggol siku Lanka keras. Dia berjinjit untuk dapat berbicara di telinga lelaki itu. "Andera. Andera yang itu." bisik Jila pelan. Membuat Lanka hanya mengangguk mengerti.
Lanka tersenyum manis menatap Andera. "Andera? Kenapa?"
"Lombanya... lombanya benar dimajukan?" tanya gadis itu masih dengan napas yang tak beraturan.
"Bener, kok."
"Kenapa?"
"Yaa..... Pokoknya dimajukan."
"Kenapa dimajukan, padahal–"
Lanka berdecak, memotong perkataan Andera. "Intinya lombanya minggu depan. Aku ngga peduli kamu mau protes apa. Lagian lombanya gampang banget, kan? Waktu segitu harusnya cukup."
"Tapi–"
"Mau 10 juta ngga?" Andera yang mendengar itu mengatupkan bibirnya rapat. Kata-katanya tertahan di ujung lidah.
"Ya tapi kan–"
"Mau. 10. juta. engga?" Lanka memberi penekanan pada setiap kata. Wajahnya semakin maju. Dengan senyum meremehkan.
Gadis itu mencebikkan bibirnya lalu membuang napas kasar. Mata yang tadi bertatapan dengan Lanka kini beralih menatap lantai. "Mau.." ucapnya lirih. Lanka yang mendengar itu hanya tersenyum lebar.
Mau bagaimana pun, Lanka yang mengadakan lomba. Semua keputusan peraturan Lanka yang membuat. Dengan uang hadiah yang begitu besar tentu tidak pantas baginya untuk protes. Tapi, dia belum mempunyai rencana. Belum mempunyai persiapan apapun. Arta masih marah dengannya. Ia tidak bisa mendiskusikan hal ini dengan Arta. Padahal lelaki itu pasti mempunyai ide yang bagus untuk bisa memenangkan lomba ini.
Kali ini, Andera benar-benar harus berusaha sendiri.
"Kalau begitu aku minta nomor telepon kamu. Kalau mau cari informasi ke kamu bisa kan?"
Lanka melirik ke atas, menempatkan jari telunjuknya di dagu. Seolah sedang berpikir dengan bersungguh-sungguh. Walaupun ia melakukan itu hanya untuk menggoda Andera. Ia menikmati raut muka serius gadis itu yang menantikan jawabannya. "Hmmmm... boleh." Lelaki itu akhirnya menjawab, "Tapi aku ngga punya ponsel." Lanjutnya.
"Bagi nomor telepon rumah kamu aja, nanti aku telepon lewat sana."
"Oke."
Lanka merobek kertas dari buku yang tadi digenggamnya. Kemudian menuliskan nomor teleponnya di sana. "Ini. Kalau mau ngobrol di luar masalah lomba juga boleh." Andera bergidik ngeri melihat Lanka yang menaik turunkan alisnya. Berniat menggoda Andera.
"Orang gila!" Andera merampas kasar sobekan kertas dari tangan Lanka dan langsung pergi dari sana. Merasa tidak betah jika lama-lama di dekat lelaki itu. Apalagi siswi-siswi yang tadi bersama Lanka, mereka terus memandang aneh Andera. Perasaan tak nyaman terus muncul dalam dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
the Season of Rain
Fiksi RemajaAndera suatu hari terjebak hujan dan meneduh di halte bus yang sudah tidak terpakai. Siapa sangka, dia akan bertemu dengan lelaki yang selalu memberikan payung kepadanya. Lelaki yang pernah memiliki masa lalu dengan Andera. Kisah mereka berdua untuk...