Bon Appetit

63 30 71
                                    

Masih ada waktu setengah jam lagi, tetapi Marimar sudah tidak konsen mendengarkan materi dari dosen karena perutnya mulai berisik. Belum lagi jika melihat materinya yang berisi tentang etika dan tetek bengeknya. Ah, dia merasa menyesal masuk ke program studi Tata Busana.

"San, selesainya kapan? Laper banget nih." Marimar sudah mulai menyenggol sahabatnya, berharap waktu segera berlalu. Namun, yang diajak bicara hanya diam saja dan sibuk mencatat. Yah, anak rajin memang berbeda.

"San!" Marimar mulai berbisik sedikit lebih keras, tetapi Santi hanya menoleh dan mengangkat sebelah alisnya, lalu menunjuk ke buku catatan. Cewek berambut pendek itu seakan mengatakan sedang menulis dan tidak ingin diganggu.

Karena mereka berada di barisan paling belakang, Marimar akhirnya membuka ponsel untuk menghalau rasa laparnya. Tidak lupa, ia membuka aplikasi kencan sekaligus membalas pesan dari para hidung belang di sana.

Santi yang mengintip sebentar hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia sudah tidak heran dengan perilaku sahabatnya sebagai seorang kembang kampus. Hobinya memang kencan sana sini dan gonta–ganti cowok. Playgirl sejati. Meski kadang–kadang Santi khawatir kalau-kalau dari beberapa cowok yang dikencani sahabatnya akan melakukan balas dendam.

Setengah jam berlalu dan akhirnya mata kuliah Etika selesai. Marimar buru-buru menarik Santi ke kantin, bahkan terlihat di sudut bibirnya air liur yang menunggu pesanan mi le milano kesukaannya menanti.

"Pelan-pelan woi! Mie-nya nggak bakal kabur, Mar. Santuy aja napa," ujar Santi yang buru-buru memasukkan binder serta kotak pensil ke dalam tasnya.

"Ya emang nggak bakal kemana–mana, tapi keburu warungnya rame. Pesenanku nanti lama jadinya. Ayolah, San, mengertilah perutku ini, ya."

Mendengarnya hanya bisa membuat Santi mendengkus. Kelakuan sahabatnya itu memang tidak pernah berubah kalau soal makanan. Makanya jika ada cowok-cowok yang bertanya pada Santi gimana cara PDKT-in Marimar, dia hanya menyarankan untuk membelikan makan. Yah, karena memang sebenarnya Marimar sangat sederhana, cuma terlalu pilih-pilih cowok saja.

Setelah memesan makanan, Marimar buru-buru duduk dan meminta Santi untuk segera mendekat. Melihat itu, Santi sudah bisa menebak kalau sahabatnya dapat mangsa baru.

"Apa? Cowok baru?"

"Ih, kok kamu tahu sih? Nggak asik, ah, nggak surprise."

"Kelakuanmu itu, loh, aku udah hapal banget. Pake bilang nggak surprise segala."

Marimar hanya nyengir saja mendengar pernyataan Santi. Tidak heran karena mereka memang sudah bersahabat sejak SMA. Bahkan, Marimar sendiri mengikuti Santi mendaftar ke program studi Tata Busana karena tidak mau berpisah dari sahabatnya tersebut. Padahal dirinya sama sekali tidak ada bakat menjahit seperti Santi. Alasan yang cukup kekanak-kanakan memang.

"Dapet dari mana? Tinder, Bumble, Twitter, atau aplikasi kencan terbaru?" Santi mulai penasaran karena sepertinya kali ini Marimar terlalu bersemangat daripada biasanya.

Sambil mengaduk pesanannya yang telah datang, Marimar malah memberikan pertanyaan balik. "Hayo, tebak dari mana?"

"Aku bukan cenayang, mana bisa nebak pikiranmu. Kamu juga punya banyak akses buat kencan buta sampe-sampe bulan lalu ngajakin aku double date."

"Iya juga, sih." Marimar hanya bisa nyengir saja dan melanjutkan, "Kali ini dari menfess kampus, katanya ada dari fakultas sebelah yang butuh temen ngobrol. Terus dia bilang bill bakal dibayar dia. Kan, kesempatan langka akhir bulan, San. Lumayan, loh, aku jadi nggak perlu keluarin duit buat makan ntar malem."

Santi hanya tersenyum saja karena dugaannya memang benar, pasti tidak jauh-jauh dari makanan. Memang sih Marimar lebih sering cari cowok buat bayarin dia makan. Nggak heran kalau duit jajannya bisa dibelikan berbagai aneka skin care dan peralatan rias serta alat-alat kuliah yang terhitung mahal harganya. Sungguh pintar memanfaatkan nilai dirinya sendiri.

Bon AppetitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang