7. Go home

45 9 0
                                        

"Sadewa, kenapa kamu tidak mengonsumsi obatmu lagi?" tanya dokter Fernand tegas, namun tetap menjaga nada profesionalnya.

"Saya capek, dok. Toh, sama saja kan? Enggak ngaruh apa-apa," ucap Dewa santai, seperti tidak mempedulikan percakapan itu.

"Setidaknya obat itu mencegah supaya kamu tidak tiba-tiba kambuh lagi seperti kemarin, Dewa. Tolong, minum obat itu lagi. Ini demi kebaikanmu sendiri."

"Baik, dok. Tapi dikurangi ya? Itu terlalu banyak," keluh Dewa.

"Bisa. Akan saya resepkan yang lebih ringan," jawab dokter Fernand sambil mencatat sesuatu.

Dewa keluar dari ruang dokter tanpa ekspresi, langsung menuju pintu keluar. Sesampainya di rumah, ia sudah tahu apa yang menunggunya.

---

Di Rumah Dewa

"Ke mana aja kamu, Dewa?!" suara Vito, ayahnya, menggema di ruang tamu.

"Sudah dua hari kamu enggak pulang. Mau jadi apa kamu?! Sekalian saja jangan pulang selamanya!" ucapnya dengan nada tinggi.

"Yah, Dewa-" suara Dewa mencoba menenangkan situasi, tapi terpotong.

"Diam! Ngejawab terus! Dasar anak enggak guna! Nilai ulangan terakhir kamu 90, itu apa?! Ayah sudah bilang, diam di rumah, belajar! Apa itu susah, Dewa? AYAH NGGAK SURUH KAMU KERJA!"

Dewa mengepalkan tangannya, giginya menggigit bibir bawah, menahan emosi yang sudah hampir meluap.

"Dewa ke kamar," ucapnya singkat, menekan nada suaranya agar tetap tenang.

"Kalau kayak begini, mending mati aja sana!" teriak Vito, kata-kata yang langsung menghantam hati Dewa seperti ribuan belati.

Langkah Dewa lunglai ketika memasuki kamarnya. Setelah mengunci pintu, kakinya tak kuat lagi menopang tubuhnya. Ia terduduk di lantai, menangis tanpa suara. Air matanya mengalir deras, tak mampu ia hentikan.

---

Di Rumah Aura

Aura termenung di kamarnya. Matanya sesekali menatap langit malam yang penuh bintang melalui jendela. Kemarin, saat ia melonggarkan seragam Dewa agar pernapasannya lancar, ia tak sengaja melihat bekas luka lain di tubuh Dewa, dan masih terbayang di benaknya.

"Itu bekas luka lama, kan? Dewa enggak pernah kena pukul sebelum ini. Radit mukulnya di perut, tapi kenapa bekasnya di dada?" gumamnya pelan.

Pikirannya melayang ke dokter dan mika yang seolah merahasiakan tentang Dewa.

Ia menghela napas panjang, lalu mengacak rambutnya. "Dewa tahu semua tentang gua, tapi gua enggak tahu apa-apa tentang dia," gumamnya frustrasi.

---

Keesokan Paginya

"Pagi, Ka!" sapa Aura tiba-tiba, mengagetkan Dewa.

"Pagi, Ra," balas Dewa dengan senyuman tipis.

"Tumben lo enggak digangguin nenek lampir itu. Biasanya pagi-pagi udah nemplok aja," sindir Aura, matanya melirik ke kanan dan kiri.

"Alice? Belum datang kali," jawab Dewa sambil terkekeh.

Alice Zeana, teman sekelas Dewa, terkenal sebagai salah satu fans garis kerasnya. Hobinya selalu cari perhatian.

"Oh iya, Ka, bunda gua bikin risol mayo banyak. Mau nggak?" tawar Aura dengan nada ceria.

"Mau. Mampir ke kelas yu," jawab Dewa, melontarkan senyum khasnya yang menenangkan. Mereka berdua pun berjalan berdampingan menuju kelas Dewa yang lebih dekat.

"Cie, ekhem! Ceritanya udah jadian, nih," celetuk Helga begitu mereka tiba di kelas.

"Apas-" ucapan Aura terpotong oleh Dewa.

"Belum," ucap Dewa singkat, tapi tatapan matanya tertuju langsung ke manik Aura.

"Icikiwir, berarti nanti bakal jadi, nih," sahut Veno sambil tertawa kecil. Mika hanya tersenyum simpul, menikmati momen itu dari jauh.

Aura, sambil membungkuskan risol untuk Dewa, menggerutu pelan. "Apaan sih, Ka? Nggak usah ngasih harapan gitu, deh," omelnya sambil menyenggol bahu Dewa.

"Lo mau?" bisik Dewa mendekat, suaranya nyaris berbisik di telinga Aura.

"Hah? Mau apa?" Aura mengerutkan dahi, bingung.

"Pacaran sama gua," ucap Dewa, nada suaranya terdengar tulus, membuat hati Aura berantakan seketika.

"Hahahaha, enggak lucu," jawab Aura, tertawa sarkas sambil berusaha menutupi kegugupannya.

"Beneran," lanjut Dewa, matanya memancarkan keseriusan yang sulit diabaikan.

"Apaan sih, udah deh, diem. Ngelantur lo," elak Aura, berjalan menjauh untuk mengalihkan rasa canggungnya.

"Enggak mau? Ya udah," balas Dewa santai, meski ada sedikit nada kecewa dalam ucapannya.

Aura mencoba menganggapnya sebagaicandaan, padahal kata-kata itu benar-benar tulus keluar dari hati Dewa.

SADEWA & RAHASIANYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang