JALANAN depan cafe yang terletak dekat dengan kampus terlihat ramai dengan puluhan kendaraan bermotor yang keluar masuk gerbang kampus. Pelan-pelan, Riana menyesap caramel latte hangat pesanannya dengan jantung yang berdegup cepat. Bagaimana tidak? Setelah mata kuliah terakhirnya selesai, tiba-tiba Regan menjemputnya dan kini, mereka berdua duduk berhadapan dengan canggung. Sungguh ironis, mengingat status mereka berdua merupakan sepasang kekasih yang seharusnya saling menunjukkan rasa cinta antar satu sama lain.
"Gimana kuliah satu minggu ini?" tanya Regan memecah keheningan di antara mereka.
"Gak ada yang spesial. Baru kontrak kuliah aja," jawab Riana disertai kekehan pelan.
"Sama, aku juga," ungkap Regan datar.
Melihat wajah Regan yang terlihat keruh, Riana buru-buru mencari topik dan tersenyum saat menemukannya. "Aku udah buka kado dari kamu. Modelnya bagus, aku suka," ucapnya lembut.
"Bagus kalau begitu," balas Regan seraya mengusap kepala Riana pelan.
"Bath bomb dari kamu juga aku suka wanginya," ujar Riana dengan nada menggoda, berniat menguji Regan apakah pria itu mengingat kado yang diberikan untuknya. Jangan-jangan, Regan menyuruh seseorang untuk membelikan kadonya alih-alih membeli sendiri.
"Udah kamu pakai? Aku beliin karena kebetulan liat orang beli itu," ujar Regan yang tidak ingin melibatkan Kylie dalam percakapan mereka.
Kali ini, wajah Riana yang berubah keruh. "Bukannya yang kamu kasih scented candle? Bukan bath bomb?" protesnya curiga.
"Oh ya? Soalnya aku juga beli kado untuk sepupu yang ulang tahun besok," kilah Regan, untuk kesekian kalinya berusaha untuk tidak melibatkan Kylie dalam percakapan mereka berdua.
"Oke, aku percaya," walaupun nada bicaranya terdengar datar, bibir Riana mengerucut sebal.
Regan tertawa gemas melihatnya, "Akhir-akhir ini, kamu keliatan beda. Kamu lebih ekspresif," komentarnya.
"Beneran? Aku gak ngerasa gitu," balas Riana terkekeh canggung.
"Kamu persis kayak aku, waktu jatuh cinta sama kamu," jelas Regan dengan mata menerawang, mengingat kembali wajahnya yang tidak ekspresif sebelum bertemu Riana. Sikap tersebut selalu menjadi kekurangannya dalam berorganisasi, namun perlahan membaik setelah pertemuan pertamanya dengan kekasihnya itu.
"Ya, banyak kating yang bilang kamu lebih ekspresif dan komunikatif di BEM. Mereka yang awalnya benci sama aku jadi baik dan gak natap aku sinis lagi," ujar Riana panjang lebar. Setelah membuat peserta OSPEK melepaskan atribut-nya, Riana kerap kali mendapat tatapan sinis dari kakak tingkatnya. Baik kakak tingkat dari fakultasnya, maupun dari kakak tingkat dari fakultas lain. Tapi tentu saja, Riana tetaplah Riana yang tidak akan terpengaruh dengan hal remeh tersebut.
"Kalau ada yang benci kamu, bilang aku. Awas aja..." geram Regan sambil mengepalkan tangan kanannya. Tapi kemudian, secara refleks mereka berdua kompak tertawa pelan. Regan tertawa atas hal yang memenuhi kepalanya, sedangkan Riana tertawa menyadari bahwa setelah hubungan mereka berakhir, pria itu tidak ada hak untuk menyampuri urusannya.
"By the way... kenapa kamu jemput aku? Emang kamu gak sibuk?" tanya Riana basa basi.
"Emangnya aku gak boleh jemput kamu? Kita ini masih pacaran kan?" goda Regan, namun hal itu tidak berhasil membuat Riana tertawa.
"Jangan bercanda kayak gitu," tegur Riana datar. Tolong dong, jangan buat gue makin kasian sama lo, batinnya kesal.
"I won't," ujar Regan dengan senyum terkulum. Kalau dipikir-pikir lagi, bicara dengan Riana tidak pernah secanggung ini. Mungkin karena dia tidak pernah lagi memancing percakapan. Hal inilah yang membuatnya yakin bahwa kekasihnya itu masih belum mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guilty Pleasure [✔️]
Romance[21+] "𝘞𝘩𝘢𝘵 𝘥𝘰 𝘺𝘰𝘶 𝘸𝘢𝘯𝘵 𝘵𝘰 𝘣𝘦, 𝘮𝘺 𝘨𝘪𝘳𝘭?" Mata bulat anak perempuan berusia 5 tahun itu menatap Ayahnya dengan polos. "𝘊𝘢𝘯 𝘐 𝘣𝘦 𝘢 𝘗𝘳𝘪𝘯𝘤𝘦𝘴𝘴, 𝘋𝘢𝘥𝘥𝘺?" Sang Ayah tersenyum mendengar jawaban putrinya, "𝘠𝘰...