Bab 16: Lega

54 19 32
                                    

Kini Hening sudah dengan selamat masuk ke dalam mobil Raga. Pak supir fokus menyetir, Hening sesekali masih menengok ke belakang merasa was-was, Raga yang melihatnya pun mengusap pundak si gadis dengan lembut, mencoba menenangkan. Sekitar 20 menit Raga datang menjemput Hening, karena jalanan tadi macet.

"Mereka sudah tidak mengikuti, tenang saja," ucap Raga yang duduk di sebelah Hening.

Hening mengangguk pelan lalu bersandar mencoba menenangkan diri. Siapa yang tidak panik jika diikuti dua orang pria tidak dikenal? Mana wajahnya sangar, badannya yang satu besar seperti petinju ulung, ngeri betul ototnya itu.

"Sejak kapan? Kenapa tidak bilang?" Raga mencecar Hening dengan ekspresi serius yang terpatri pada wajah. Hal seperti ini tidak bisa dianggap enteng, karena telah menjurus ke arah tindakan kriminal.

Hening menggeleng pelan. "Saya nggak tahu. Bukannya gitu Pak, saya juga baru ngeh kemarin malam pas mengantar Mama ke terminal bus. Sebelumnya pas mau berangkat juga sempat lihat orang yang jaket hitam di sekitaran rumah."

Raga bergeming, tampak memikirkan sesuatu. "Cara menguntit mereka terlalu terang-terangan dan gegabah," tukas Raga sambil memberi Hening botol air putih.

"Maksud Bapak?" Tanya Hening bingung, lalu menerima botol seraya ucap terima kasih.

Pria bermanik hazel itu menyilangkan kedua lengannya ke depan, menganalisis kemungkinan yang ada. Meski Raga tahu gadis di sampingnya cukup tidak beruntung dalam hidupnya, tapi tetap ada yang terasa janggal di sini. Pasti ada kaitan dengan dirinya juga, jika disambungkan, ia menduga ini adalah ulah dari keluarganya. Tidak mungkin Prayan, apa lagi Rajendra; pamannya yang ada di luar negeri itu terlalu jauh jika dihubungkan.

Siapa lagi kan?

Kekehan Raga mengundang tanya pada raut wajah Hening. "Kamu tidak perlu khawatir, biar saya yang urus pelakunya," ujar Raga dengan mengulum senyum simpul.

***

"Bapak! Yang bener aja saya disuruh jaga jarak begini?" Teriak Hening dari jarak kurang lebih 3 meter, ia berdiri di samping kursi makan sambil mengkerucutkan bibir. Kesal karena diperlakukan seperti kucing yang akan memangsa ikan-ikan milik Raga.

"Sudah kamu di situ saja, jangan mendekat. Nanti anak-anak saya ada yang mati lagi." Ujar Raga mutlak sambil memberi makan ikan-ikannya yang berada di tangki akuarium.

Awalnya bilang tidak percaya dengan kesialan yang dibawa Hening, nyatanya sekarang dia melarang gadis itu untuk mendekat, terdengar sangat mengesalkan memang. Tidak adil bagi si gadis yang ingin melihat koleksi ikan-ikan pria itu dari dekat.

Mereka baru saja pulang dari tanda tangan akta di sebuah gedung bank, Raga yang baru turun dari mobil langsung berjalan cepat menuju belakang rumahnya, Hening kira pria itu kebelet buang air kecil, ternyata ingin segera memberi makan ikan.

"Sana kamu makan dulu," titah Raga sambil meletakkan makanan ikan di wadah dekat sapu.

Wajah Hening tampak sumringah, sampai lupa jika dia belum sarapan tadi. Saat dia berbalik, Raga mencegahnya dengan sebuah kalimat tanya yang terlontar.

"Mau kemana?"

Gadis itu kembali berbalik dan menatap Raga. "Mau makan di dapur kantor, Pak."

"Makan di sini saja." Raga mulai beranjak dari sana untuk mengambil piring.

"Tapi, saya harus mendekat ke akuarium Bapak lho," jawab gadis itu sambil menunjuk dengan dagunya ke arah penanak nasi yang berada di dekat tangki akuarium.

"Iya ini saya ambilkan, kamu duduk saja di sana." Kuasa Raga sibuk mengambilkan nasi dan lauk untuk Hening dengan porsi kuli, itulah yang ia tahu soal porsi makan si gadis.

MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang