Bagian 29

32 8 0
                                    

Ardan menatap datar isi email dari kantor pusat yang dikirim untuknya. Laki-laki itu menutup laptop, ia beranjak menuju pintu kamar seraya mengambil masker dan helm, kemudian lekas keluar. Di depan pintu ia melihat Ridho yang membawa kantong plastik hitam naik dari lantai satu.

"Kamu udah makan, Dan?" tanya Ridho berbasa basi.

"Kamu hanya beli sebungkus, jadi tak perlu menawariku."

"Hei!" teriak Ridho yang kesal kepada Ardan. Ia melihat Ardan yang berlalu pergi dengan lenguhan panjang.

Cuaca Kota Pekanbaru siang itu amat panas. Sinar matahari terasa membakar kulit, apalagi bagi pengendara motor yang berlalu lalang di jalan raya seperti Ardan. Laki-laki itu melajukan motornya. Melewati keramaian jalan untuk berputar arah dan berbelok ke dalam gang menuju warung Ervi.

Dari warung kecil itu, keluar dua orang perempuan yang membawa dua kantong plastik putih. Ardan melepas helm dan merapikan maskernya. Ia tersenyum melihat pengunjung di warung itu. Ardan segera saja mencuci tangan dan kemudian masuk ke dalam.

"Yang tadi itu pelangganmu juga disini?" tanya Ardan melihat Ervi yang tengah duduk di meja kasir memainkan ponselnya.

Ervi mengangkat kepala, melihat siapa yang datang. Segera dia tersenyum melihat Ardan menghampirinya. Ah, entah kenapa setiap Ardan datang ke sana selalu membuat Ervi merasa lebih tenang. Seakan kedatangan teman yang selalu memberi kabar gembira.

"Apa kamu tertarik pada salah satu dari mereka? Aku bisa meminta nomornya untukmu." Ervi tersenyum menggoda, mengejek Ardan yang sudah duduk di meja terdekat dengan meja kasir. Gadis itu berdiri, ia menyimpan ponsel ke dalam saku celana, kemudian duduk di meja yang sama dengan Ardan.

"Aku tidak tertarik sama sekali, cuma merasa senang saja melihat pengunjung di warung ini, Vi. Ngomong-ngomong Nadira dimana?" Ardan menatap Ervi dengan lekat, wajah gadis itu yang ceria dengan kedatangan Ardan seketika berubah. Senyumnya memudar, ia membuang muka melihat pintu kaca warungnya. Entah mengapa ia malah merasa kecewa karena Ardan bertanya tentang Nadira.

"Dia buat tugas di rumah temannya, Dan. Jadi sekarang aku jaga sendirian."

Ardan mengangguk perlahan. Dari awal ia sudah menaruh curiga kepada Nadira. Saat Ervi mengatakan Nadira kuliah daring di rumah temannya—Ardan juga mendengar cerita Barus bahwa istrinya mendapat pembantu bernama Nadira. Sengaja ia tidak melihat Nadira saat di rumah Barus tadi, agar Nadira mengira bahwa ia tidak tahu apa-apa. Bagi Ardan itu jauh lebih baik, berpura-pura tidak tahu akan semuanya daripada harus terlibat dalam kebohongan Nadira kepada Ervi.

"Dia sibuk sekali sekarang, setiap aku ke sini dia selalu nggak ada." Ardan berseru ringan, ia masih menatap lekat wajah Ervi yang masih membuang muka.

"Kamu ke sini pagi sih, kalau sore atau malam, Nadira pasti ada." Ervi menoleh membalas tatapan Ardan. "Kamu mau makan sesuatu? kali ini free, aku yang traktir."

Ardan diam, ia tak menjawab sama sekali. Malah mengembuskan nafas panjang, membuat mereka lengang untuk beberapa saat.

"Apa mantan kekasihmu itu masih mengganggumu, Vi?" Ardan bertanya hal yang berbeda.

"Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan dia?"

"Aku takut dia akan menyakitimu jika aku terus datang ke sini." Aku Ardan, matanya dan mata Ervi masih saling tatap. Mereka saling menyelami mata masing-masing, seakan menyelami apa yang mereka rasakan dari pandangan itu.

Sesaat kemudian Ervi tertawa. Ia menutup mulutnya yang terbuka lebar. "Aduh, Dan!" ucapnya menahan tawa.

Ardan menelan ludah, merasa malu dengan dirinya sendiri. Ah, apa pertanyaannya tadi salah? lalu kenapa Ervi tertawa seperti itu? Ervi sendiri masih menahan tawa, membuang rasa gugupnya kepada Ardan. Sungguh, ia tidak ingin Ardan menyelinap masuk ke dalam hatinya yang tengah kosong dan gundah karena baru mengakhiri hubungan dengan Erwin. Dalam hati kecilnya, ia tidak ingin Nadira terluka jika mereka menaruh hati ke lelaki yang sama.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang