"Nih, thanks ya. Gue kasih bonus Secondhand Serenade di dalam," ujar Raeshangga yang tiba-tiba menaruh flash disk berwarna putih dengan gantungan bergambar tumpukan buku dengan font klasik warna pink salem. Tertulis "Pride and Prejudice, Persuasion, Sense and Sensibility, Emma, Northanger Abbey, Mansfield Park, Lady Susan."
"Wah, thanks banget! Gue baru mau nanya, lo punya Secondhand Serenade sama Dashboard Confessional nggak, hahahaha..."
"Dashboard Confessional gue belum punya. Eh, lo nggak mau nonton Hoobastank bareng?" Dengar-dengar band itu mau konser di Jakarta. Tapi aku nggak begitu tertarik.
"Gue udah coba dengerin sealbum tapi ternyata cuma 'kena' di The Reason doang."
Wajah Raeshangga nampak kecewa. "Pengen nonton tapi nggak ada temen nih."
"Ajak Didan lah, Tito? Fadlan?"
"Sama kayak lo, pada sukanya cuma The Reason-nya doang."
"One hit wonder ya berarti dia."
"Ya, lagu-lagunya yang lagi tuh hit or miss sih. Gue masih dengerin beberapa. Cuma kayaknya yang lumayan easy listening The Reason doang."
Aku jadi teringat kenapa The Reason tuh bisa hits banget. Soalnya diputar di stasiun-stasiun TV. Jadi ingat juga lagu-lagu yang keluar di era yang sama dengan lagu itu. Ingat banget pernah ada band yang namanya Rooster, lagunya berjudul Staring At The Sun. "Eh, Ngga, lo pernah dengar lagu Staring At The Sun nggak?"
"Rooster?" Aku suka nih pengetahuan musik nih anak bagus. Tapi ya waktu itu lagu itu juga suka diputar di TV-TV juga sih.
"Iya. Punya nggak?"
"Hmm..." dia mengeluarkan mp3 player-nya yang berbentuk seperti flash disk. Bukan brand yang sama dengan yang aku punya. Memang sih ponsel kami udah cukup pintar, bisa memutar mp3 file, tapi kapasitasnya nggak cukup. Memory card sebesar 512 MB aja udah besar banget rasanya. Nggak sebesar pemutar musik seperti iPod, Creative Zen, Sony, dan yang Raeshangga punya ini nggak tahu brand apa, yang bisa menampung mulai dari 1 GB sampai 8 GB.
"Itu apa, Ngga?"
"IPod versi low budget," jawabnya sambil tertawa kecil. Aku mengulurkan tangan ingin melihat benda itu. Dia menyerahkannya sambil kemudian duduk di kursi milik Sierra yang kosong karena yang punya kursi masih di kantin. "Merk nggak jelas sih, produksi Cina gitu kayaknya. Tapi suara lumayan lah kalau pakai headset bawaan hape." Ponsel dia memang Nokia seri express music. Jadi pasti headset bawaannya sudah lumayan bagus.
"Berapa memorynya? Terus masukin lagunya gimana?"
"Cuma 2 giga. Tapi lumayan lah, biar hape nggak cepat habis batrenya. Kalau disita sama Bu Ida nggak sayang-sayang amat," ujarnya sambil terkekeh pelan. "Masukin lagunya ya tinggak copy file aja, kayak copy ke flash disk gitu."
Aku manggut-manggut mengerti sambil coba mendengarkan lagu dari alat itu. Ya, suaranya lumayan sih. Nggak sebagus dari iPod atau ponselku, cuma untuk sekadar mendengarkan masih oke. Mengoperasikannya juga lebih simpel. Nggak seperti iPod, masukin lagu aja harus lewat software bernama iTunes.
"Gue nggak punya Rooster ternyata, Las. Kalo The Postal Service pernah denger?"
"Belum."
"Lo harus denger sih. Sekalian sama Phoenix... Interpol... nanti gue kasih."
"Kayak apa tuh musiknya?"
"The Postal Service kayaknya masuk selera lo deh. Indie-electronics gitu." Dia main nge-judge aja karakteristik seleraku hanya dari koleksi lagu yang aku punya. Padahal aku sering minta dia lagu-lagu genre alternatif dan emo juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Favorite Playlist
Teen FictionTakdir selalu memiliki alasan kenapa dua orang harus bertemu. Kadang pertemuan itu terjadi terlalu cepat. Seperti Lasha yang terlalu dini mengenal Raeshangga. Ini kisah mereka sebelum Lasha menyesalinya dan berharap mereka tidak bertemu secepat ini.