ANGIN malam itu terasa sangat dingin menusuk kulit, membuat siapa pun yang merasakannya akan menggigil kedinginan.
Rembulan terang jauh di atas langit malam, menambah kesan estetika sunyinya malam hari. Ditambah dengan suara jangkrik yang bersahut-sahutan, membuat diri Ana yang sedang menyandarkan diri di kaca jendela kamar sukses larut dalam kesunyian, yang membuatnya ingin mengundurkan diri mengerjakan tugas sekolah.
Ana menyampirkan buku-buku sekolah lalu merapatkan selimut tebal ke tubuhnya. Ia mendongakkan kepalanya ke atas yang sedari tadi ia benamkan dalam lengannya, lalu mengembuskan napas frustrasi. Bahkan ia sampai lupa meminum obatnya karena terus memikirkan hal itu.
Gadis itu bingung. Sejak melihat kembaran Angelia sampai diantar pulang oleh Martin, pikirannya sudah berlari ke sana kemari. Entah apa saja yang dia khawatirkan sedari tadi. Tetapi yang pasti, pikirannya kacau walau dirinya terlihat baik-baik saja. Bahkan tadi Ana memasang ekspresi senang saat masuk ke dalam rumah.
Tak terasa satu jam, dua jam telah berlalu. Ana masih tetap berada pada posisinya, menatap bintang-bintang di langit. Adrieto, Laetitia, dan Loi sudah terlelap ke alam mimpi sejak satu jam yang lalu.
Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benaknya. Mulutnya mulai bergerak, tanpa sadar terus menggumamkan kata demi kata.
Satu ... dua ... tiga ....
Pada hitungan ke seratus dua belas, kantuk mulai menyerang. Pandangannya perlahan mengabur. Ia pun berhenti berhitung dan menguap kelelahan.
Beberapa menit kemudian, Ana terbatuk. Entah bagaimana bisa ia merasa tenggorokannya seret dan panas. Punggungnya juga sakit seperti sedang tidur di atas tumpukan batu. Kulitnya terasa panas dan dia berkeringat. Padahal gadis itu harusnya tertidur di atas lantai dingin di balkon kamarnya.
Ana lalu bangun dan memaksakan dirinya untuk sadar sepenuhnya dari tidur. Tapi saat sadar, gadis itu melotot tak percaya. Bukan selimut hangat yang ia lihat. Tidak ada tumpukan buku di sana. Tidak ada lantai. Dirinya tidak tidur di balkon melainkan di atas tanah kering dan tandus dengan tumpukan batu-batu kerikil di atasnya.
Segera Ana terbangun berdiri dan melihat sekelilingnya.
'Tidak mungkin ... apa aku sedang mengalami lucid dream?'
Sudah pasti dia bermimpi tapi dalam keadaan yang sangat sadar.
Ana lalu berjalan tanpa arah dengan pikiran yang kusut, lantaran bingung akan rancangan otak yang diberikan padanya.
Hingga ia melihat ada sebuah gedung aneh tak berpenghuni yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Gedung itu berbentuk setengah badan oval serba putih yang setengahnya telah ditimbun tanah serta tumbuhan merambat.
Karena penasaran, ia langsung menuju gedung itu. Lagipula ini hanya mimpi, pikirnya. Jadi dirinya tidak akan kenapa-napa.
Setelah sampai di dalam, Ana tercengang karena isi gedung ini yang dipenuhi dengan alat-alat canggih yang berkarat, rusak, hancur, bahkan sebagian tertimbun pasir serta tumbuhan merambat.
Gadis itu sedang mengamati peralatan yang tidak ia ketahui. Tetapi, beberapa barang-barangnya seperti yang ada di lab kimia sekolah. Ana berpikir sejenak sebelum mengangguk mengerti. Gedung ini adalah gedung sains.
Ana terus menelusuri gedung ini sampai salah satu tabung besar transparan seukuran manusia menarik atensinya.
Di samping tabung besar tersebut ada sebuah meja panjang, yang di atasnya hanya terdapat bingkai foto yang memperlihatkan keluarga beranggotakan empat orang. Mata gadis itu menyipit berusaha melihat wajah yang terpampang di bingkai itu, namun nihil.
KAMU SEDANG MEMBACA
INEFFABLE
Mystery / ThrillerSetelah mengalami teror yang tiba-tiba, Ana menemukan dirinya dihantui tepat satu tahun setelah Richard secara sepihak putus dengannya dan pindah ke Texas. Di tengah kekacauan, kehidupan Ana berubah secara tak terduga saat dia bertemu Martin, seoran...