Bagian 31

41 7 0
                                    

Saat langit mulai menguning di Kota Pekanbaru, seperti biasa Ardan selalu meluangkan waktu untuk berkeliling mencari hiburan. Sore itu Ardan baru saja turun dari kamarnya. Ia memasang helm dan merapikan masker hitam kesukaannya. Ardan kemudian membuka gerbang dan mengeluarkan motornya. Saat ia hendak menarik gas motor, ia melihat Nadira tengah menyeberangi jalan besar di depan kosnya. Hal tersebut membuat Ardan urung untuk pergi.

Ardan memperhatikan Nadira yang mendekat menghampirinya. Ia melepas helm, kemudian menurunkan masker yang ia kenakan. Laki-laki itu tersenyum ramah menyambut kedatangan Nadira.

"Abang mau kemana?" tanya Nadira dengan nafas terengah, ia mengusap keringat yang mengucur karena cuaca panas.

"Biasa, Dir. Jalan-jalan sore. Aku mau ke jembatan lagi hari ini, apa kamu mau ikut?" Ardan bertanya akrab seperti biasa.

"Boleh, Bang." Nadira mengangguk semangat. Ardan kemudian turun dari motor, ia masuk ke dalam untuk meminjam helm Ridho sekaligus mengambil masker untuk Nadira.

Mereka untuk kesekian kalinya kembali jalan berdua. Menghabiskan waktu sore bersama. Nadira dapat membuang sejenak rasa resah yang dirasanya. Juga membuang rasa bersalah kepada Ervi yang membebani pikiran. Pun ia bisa bersantai sejenak mencari hiburan bersama Ardan. Hanya saja ia sekarang takut terlalu banyak berharap seperti sebelumnya. Setidaknya Nadira masih bersyukur, perasaannya tidak terlanjur dalam hingga luka yang ia rasakan tak memilukan di dalam dada.

Sosok laki-laki yang sekarang duduk mengendarai motor di depannya itu membuat Nadira sedih akan kenyataan yang ia jalani. Mungkin benar ia harus mengalah kepada Ervi, toh Ardan sendiri memang lebih cocok dengan sang kakak. Umur mereka tentu tidak terpaut jauh. Nadira melihat punggung Ardan yang mengenakan jaket hitam. Ia tersenyum getir, mungkin perasaan itu memang harus diketepikan, demi hubungan baik mereka yang sudah terjalin.

***

Ardan menghampiri Nadira yang tengah menunggunya. Ia membawa dua cup mie kuah untuk mereka nikmati sore itu. Suasana Jembatan Siak III tidak terlalu ramai, dari taman Rumah Singgah Tuan Kadi terlihat motor berlalu lalang, juga mobil yang lewat satu-satu. Ardan sungguh menyukai suasana disana. Mengingatkannya akan kenangan masa kecil dulu.

"Sesekali makan mie tidak apa,-apa kan?" tanya Ardan seraya memberikan satu mie cup untuk Nadira.

Nadira menoleh, ia menerima mie cup yang diberikan Ardan dengan tersenyum.

"Nggak apa-apa, Bang. Asyik juga setiap jalan sama Abang selalu makan makanan yang beda-beda. Apalagi ditraktir, rasanya dua kali lebih enak," gurau Nadira.

Gadis berkulit sedikit gelap itu mengambil sesendok mie, meniupnya dengan pelan hingga asap panas dari kuahnya menguap. Ardan memperhatikan apa yang dilakukan Nadira. Sungguh ia bingung bagaimana cara untuk membuat Nadira berbicara akan alasannya berbohong kepada Ervi.

"Ini kali kedua kita ke sini, Bang," ucap Nadira setelah menelan mie yang dikunyahnya.

"Dan ini udah kesekian kalinya aku untukku, suasana disini sangat menyenangkan, Dir. Membuatku teringat dengan memori indah masa kecilku dulu." Ardan mulai menikmati mie bagiannya.

"Oh, ya, Abang punya kenangan apa disini?" tanya Nadira dengan antusias, Ardan belum menjawab ia masih mengunyah mie di dalam mulut. "Apa Abang dan ayah Abang pernah ke sini sebelumnya?"

Ardan menggeleng, menelan mie di dalam mulutnya. "Bukan, Dir. Dulu waktu di kampungku ada jembatan gantung melintasi sungai yang cukup lebar. Di dekatnya ada musholla tua tempat aku dan teman-teman belajar di surau. Suasananya mirip sekali dengan suasana disini. Jembatan besar dan rumah singgah ini persis sama posisinya dengan jembatan gantung dan musholla di kampungku itu. Jadi ketika melihat ini, aku terkenang saja masa lalu, saat kami bermain bola di depan musholla menunggu senja datang."

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang